“Sumpah malas banget rasanya buat besok,” sambat Wisnu sambil menulis gambarnya di papan nama.
“Boleh nggak sih kalau PBB-nya diskip aja?” komen anggota tim yang lain.
“Iklan TV aja nggak bisa diskip,” balas yang lain.
Sementara anggota tim yang lain masih sibuk mengeluh, Adrian memilih untuk menggambar papan namanya. Tidak boleh ada foto di sana. Hanya boleh ada nama, kelompok, motto, dan karikatur. Kali ini, sebuah hal yang Adrian sukai akhirnya bisa sedikit tersalurkan.
Kendati banyak diamnya, Adrian sedikit bisa berbaur dengan teman-teman barunya. Dunia yang semula hanya belajar, mulai berbeda. Adrian mulai mau berteman dengan yang lainnya. Dan semua ini bermulai sejak dia berbaikan dengan Wisnu.
Sejak kejadian PR waktu itu, Adrian dan Wisnu duduk bersama. Adrian kira dia yang akan selalu dimanfaatkan oleh Wisnu. Tapi ternyata pikirannya itu terlalu naif. Wisnu tak bodoh. Dia juga anak pintar. Sesekali Wisnu juga menerangkan tentang apa yang Adrian belum pahami.
“Eh motto kita apa, nih?” celetuk salah seorang anggota.
Mendapat pertanyaan itu, semua anggota yang tengah sibuk menggambar karikatur masing-masing, terdiam.
“Yang biasa-biasa aja, deh,” saran Wisnu.
“Ya yang biasa-biasa itu gimana?” tanya yang lain.
“Rajin pangkal pandai?”
“Nanti sama dewan dikira anak SD lagi,” cibir seorang anggota.
“Terus apa?”
Adrian memandang ke teman-temannya yang mulai menggambar lagi. Belum ada satu pun motto yang ditulis padahal hari sudah sore dan sebentar lagi adzan asar berkumandang. Adrian hendak mengangkat tangan, meminta perhatian, tapi urung. Dia takut ditertawakan.
“Ayo, Ian! Katanya pingin berubah!” katanya pada dirinya sendiri.
Adrian pun mengepal tangannya, berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. Dia memejamkan mata, menyakinkan diri sendiri bahwa apa yang sudah terjadi di SMP hanya akan terjadi di SMP. Nyatanya dia sekarang sudah memiliki teman, meski baru Alya dan Wisnu.
“Anu …,” ujar Adrian. Dia mengangkat tangannya walau sangat rendah.
Beberapa anggota tim memerhatikan Adrian, beberapa yang lain masih sibuk menggambar. Adrian pun memandang ke bawah, dia belum sanggup menjadi pusat perhatian seperti ini.
“Gimana kalau motto kita sedikit nyleneh?” katanya ragu-ragu.
“Boleh tuh, nyleneh gimana?” tanya yang lain antusias.
Mendapat perhatian seperti itu, bukannya Adrian tambah percaya diri, dia justru malu. “Tapi kayaknya jelek, deh!” Adrian mengurungkan niatnya.
“Gimana tahu jelek atau bagusnya kalau kamu nggak bilang?” tegur Wisnu.
Adrian menghela napas. Perlahan-lahan dia mengangkat kepalanya. “Kesetiaan bermula dari pramuka bukan dari buaya,” kata Adrian. Dia langsung menundukkan kepalanya lagi, malu.
“Bagus!”
“Pas itu!”
“Langsung aku tulis, nih!”
Adrian tersenyum menyaksikan pendapatnya diterima. Sedikit rasa percaya diri kembali singgah ke dalam dirinya. Sudah lama sekali rasa itu roboh diterpa badai mental entah itu di rumah atau pun di sekolah.
“Apa kubilang? Sebut dulu baru tahu hasilnya!” ujar Wisnu.
Adrian mengangguk. Dia turut menuliskan motto yang baru saja dia katakan.
“Oh ya, kita kan belum punya yel-yel. Gimana kalau Adrian juga yang buat?” usul seseorang.
Tangan Adrian terhenti. Kepalanya langsung terangkat. Dia tak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Ide bagus. Aku sering lihat Adrian dengerin lagu sendirian di kelas. Pasti dia tahu banyak lagu,” celetuk Wisnu.
“Eh, jangan aku!” tolak Adrian.
“Sesuai ajaran pramuka, musyawarah untuk mufakat, jadi siapa yang setuju Adrian buat yel-yel?” tanya Seno, anggota tim yang pertama kali mengusulkan tadi.
Seno mengangkat tangannya, disusul oleh Wisnu dan anggota lainnya.
“Yang kudengerin itu cuma instrumental, masa mau buat yel-yel dari instrumental,” sanggah Adrian,
“Yel-yel itu kan harus pas sama motto, Yan. Kamu yang bikin motto, kamu juga yang harus bikin yel-yelnya!” seringai Adi, anggota tim.
“Aku nggak tanggung jawab loh ya kalau jelek!”