Sore datang. Rangkaian acara pengukuhan telah rampung sejak siang. Para andik pun sudah boleh pulang bahkan sebelum adzan berkumandang. Hanya ada Adrian yang masih setia menemani bangunan sekolah. Sesudah salat dzuhur di masjid, Adrian memutuskan untuk memetik beberapa buah kersen.
Sejak merasakan manisnya kersen, Adrian jadi sering mengunjungi satu-satunya pohon buah di sekolahnya itu. Dia suka nuansa di atas pohon sana, segar sekaligus menyejukkan. Pohon kersen juga liat, jadi tidak mudah patah, entah seperti apa pun Adrian menaikinya.
Sebenarnya Adrian ingin berlama-lama di sekolah. Dia malas sekali pulang dan menghadapi cibiran ayahnya lagi. Setelah ini, dia pasti akan memarahi habis-habisan Adrian yang nekat masuk sekolah. Sayangnya jika tidak pulang, Adrian bingung harus ke mana. Dia tidak bisa membohongi diri bahwa tubuhnya sudah lelah dan dia ingin tidur.
“Kok buahnya udah habis,” keluh Adrian setelah menaiki pohon kersen dan hanya menemukan beberapa biji kersen.
Merasa tidak ada kersen yang bisa dia gapai lagi, Adrin pun turun lantas menuju ke kelas. Paling tidak ada beberapa buah kersen yang bisa memaniskan harinya.
Sesampainya di kelas, Adrian membereskan barang-barangnya. Ketika dia melihat laci mejanya, dia cukup kaget melihat sebuah buku misterius di sana. Tidak hanya buku. Adrian juga menemukan secarik kertas di atas buku itu yang juga ditindih beberapa buah kersen. Adrian pun mengambil buah kersen itu lantas menarik buku bersama kertas di atasnya.
“Ian, kemarin rasanya nggak impas kalau aku nggak ngasih apa-apa sesudah kamu minjemin sepedamu. Jadi aku kasih ini, ya. Ini kumpulan cerpen terromantis yang paling aku suka. Di dalamnya juga banyak gambar ilustrasinya. Kamu pasti suka. Yang paling kusuka tuh Gadis Kupu-Kupu di halaman 40. Dijaga lho, awas kalau hilang! Aku bakal marah! Maaf nggak ngasih langsung, kamunya ngilang mulu, sih!”
Alya Zaina Naiya
Untuk pertama kalinya, Adrian merasa tergelitik dengan sikap seseorang. Setelah apa yang dia lalui hari ini yang mana membuat keberaniannya tumbuh kembali, Adrian merasakan sesautu yang baru. Tanpa dia sadar, mulutnya mulai tersenyum tanpa harus dipaksakan. Adrian yang tadinya mau pulang, akhirnya duduk di bangkunya, membuka halaman 40 dan mulai membacanya.
Gadis Kupu-Kupu, sebuah cerpen manis karangan Candra Malik. Ceritanya tentang Tanaka dan Tanaya, dua remaja laki-laki dan perempuan yang bermain bersama di taman. Kisah cinta sederhana yang menyihir siapa saja untuk ikut hanyut dalam indahnya senja di taman bersama seseorang yang dicinta.
Tanpa sadar, Adrian membaca itu sambil terus memakan kersen yang dia peroleh dan kersen yang diberi oleh Alya. Dan saat dia sadar bahwa semua kersen itu habis, dia pun menyesal. Adrian ingin menjadikan satu kersen saja untuk menjadi pengenang dirinya dan Alya, seperti yang ada di cerita ini. Adrian pun hanya bisa menghela napas kecewa.
***
“Ke mana anak itu? Sudah sore belum pulang juga!” Abimanyu bersungut-sungut. Pintu utama, dibukanya lebar-lebar. Sengaja. Dia ingin melihat tampang anaknya yang sudah berani membangkang.
Sementara itu, Sinta hanya bisa diam sambil membuat makanan kesukaan Abimanyu. Hanya itu satu-satunya cara Sinta untuk meredakan kemarahan suaminya. Dia tak berani berbicara ketika Abimanyu masih mengamuk.
Merasa yang ditunggu tidak kunjung datang, Abimanyu pun keluar. Dia tidak peduli dengan harum masakan istrinya yang makin harum. Dia lebih peduli pada amarahnya yang ingin segera dia salurkan.
Abimanyu mengambil kunci motornya. Dia pun segera keluar dan menaiki motornya menuju ke sekolah. Dia sama sekali tak mau menunggu lebih lama lagi.
Sinta mengamati suaminya. Ayam yang baru dia tuang ke wajan, dia tinggalkan begitu saja. Dia tak bisa membiarkan suaminya pergi. Jika Abimanyu benar-benar bertemu Adrian di sekolah atau tempat umum, semuanya bisa makin kacau. Sinta sudah sering mendengar gunjingan soal sikap suaminya. Dia tak mau pihak sekolah sampai tahu. Dia juga tak mau Adrian dipermalukan di sana. Sialnya dikala Sinta berteriak, memanggil suaminya, Abimanyu sama sekali tak menggubris. Motor suami Sinta itu telah menjauh.
Sinta pun masuk kembali. Diaduknya masakannya itu dengan hati yang was-was. Tangan dan indra penciumnya fokus pada wajan di depannya, tapi indra pendengarannya fokus pada langkah kaki yang akan memasuki rumah.
“Assalamu’alaikum.”