“Ian!” panggil Alya.
Ketika mendengar suara yang amat Adrian kenal, remaja laki-laki itu langsung menengok ke atas. Dia masih ingat apa yang terjadi di lapangan belakang sekolah, tempat pohon kersen tumbuh. Tapi kala melihat Alya yang melambai sambil memegangi sebuah tongkat, Adrian sedikit lega. Untung saja Alya tak menjelma menjadi kera dadakan lagi.
“Bantuin, dong!” pintanya.
“Kamu nggak lelah? Nggak mau langsung pulang aja?” tanya Adrian, mencoba menghindari permintaan Alya.
“Mau ngapain pulang jam segini? Nggak ada PR, kan? Baru juga setengah empat,” kata Alya riang.
Sejenak Adrian melihat ke jam tangannya. Alya tidak berbohong. Jam baru menunjukan pukul setengah empat.
“Ian! Sini dong bantuin! Kersennya tinggi-tinggi banget!” rengek Alya.
Adrian menimang-nimang sebentar. Dia sama sekali tak mau dibentak atau dihukum ayahnya lagi. Drama perdebatan kemarin masih terasa hingga tadi pagi. Adrian sarapan dengan lauk ceramah yang membuatnya hanya menghabiskan tiga sendok makan. Adrian yakin, jika dia pulang telat hari ini, maka ayahnya mungkin akan menghukumnya lebih hebat. Hanya saja, sepertinya Alya benar. Tak ada PR yang harus dikerjakan. Adrian masih jelas mendengar bahwa Abimanyu mengharuskannya sudah ada di rumah pukul empat sore. Masih ada setengah jam lagi. Adrian yakin jika dia mengendarai sepeda dengan cepat, dia dapat sampai di rumah dalam waktu lima menit.
“Kalau nggak mau bantuin, aku manjat lagi, nih!” ancam Alya yang sudah tidak sabar.
Adrian mengangkat kepalanya. Sebuah senyum terlukis di wajahnya. Tidak seperti kemarin, saat pertama kali dia mau membantu Alya, kini wajah Adrian terlihat amat sumringah.
“Iya-iya!” sahutnya semangat. Baginya menghabiskan waktu di sini, mulai terasa asyik daripada berada di rumah terus.
Dengan berlari-lari kecil, Adrian menghampiri Alya. Remaja itu lantas melepaskan tasnya dan menaruhnya di teras lab kimia. Tanpa disuruh, Adrian mulai memanjat.
“Kamu ikutan, kan?” tanya Alya. Dia masih saja berusaha meraih kersen dengan galahnya.
“Ha?” Adrian menatap ke bawah. Dahinya mengernyit. Dia tak paham dengan pertanyaan Alya.
“Ituloh, kemah kebangsaan. Cuman kita berdua loh terpilih,” lanjut Alya.
Adrian mengembuskan napas. Dia kembali menatap ke atas, mencoba meraih beberapa kersen di ujung ranting.
“Ikut ya, Yan. Entar kalau kamu nggak ikut, aku sendirian dong yang mewakili kelas 10.”
Telinga Adrian mendengarkan, tapi mulutnya diam, sedang hatinya risau.
Semenjak dirinya ditarik dari barisan oleh dewan lalu dijelaskan bahwa dirinya dan Alya akan mengikuti kemah kebangsaan, Adrian bingung. Dalam benaknya, dia menduga pasti ayahnya akan menolaknya mentah-mentah. Pengukuhan yang jelas hanya acara sekolah saja dilarang, apalagi kemah yang sampai menyita waktu 3 hari. Di dunia ini yang boleh dilakukan Adrian belajar hanya belajar. Tak ada yang lain. Sebelum dia menyabet juara 1 di sekolah lagi, seperti yang dilakukannya ketika SD, Abimanyu pasti akan melarangnya membuang-buang waktu selain untuk belajar.
“Apa kamu nggak suka?” tanya Alya lagi.