Abimanyu menggebrak meja. “Nggak boleh!” bentaknya keras. Dia yang tadi berada di kursi pun kini berdiri. Kekesalannya atas apa yang Adrian lakukan kemarin, masih belum hilang.
“Sebenarnya kamu belajar membangkang dari mana, hah? Kemarin pengukuhan sekarang kemah! Dengar ya, Yan! Hanya anak pinter yang boleh ikut kemah. Kamu udah merasa pinter, hah? Nilai fisika saja 40. Memalukan!”
Puas sudah memarahi Adrian, Abimanyu kembali duduk.
Sementara itu, Adrian masih bergidik di depan singgasana ayahnya. Di sini, di kursi depan TV, ayahnya selalu berada. Kendati sudah dimaki-maki, Adrian sama sekali tak beranjak dari tempat semula dia berdiri. Meski kakinya seperti tak kuat untuk menyangga tubuhnya, Adrian tetap berusaha berdiri tegak. Bahkan pandangannya yang biasanya hanya menatap kakinya sendiri, sekarang mulai berani menatap tubuh Abimanyu. Adrian masih menunggu keajaiban agar ayahnya mau menandatangani surat izin perkemahan.
Sudut mata Abimanyu masih menangkap kehadiran putranya di samping kursi. Mulutnya pun mendesit. “Kenapa? Masih mau ngotot ikut?” tanya Abimanyu tanpa memalingkan mukanya dari TV.
"Aku …." Adrian mencoba berbicara. Namun suaranya terlalu lirih. Saking lirihnya, Abimanyu sama sekali tak mendengarnya. Suara anaknya itu kalah ditelan oleh suara artis iklan di TV.
Adrian mengangkat kepalanya sedikit. Dilihatnya Abimanyu yang seakan mengacuhkan keberadaan anaknya. Namun Adrian tak mau mundur. Dia ingin kuat, sekuat tekadnya untuk ikut kemah.
Adrian meremas tangannya. Dia kembali teringat janjinya pada Alya tadi sore. Dari kecil hingga sebesar ini, Adrian tak pernah bisa mengungkapkan apa yang dia mau. Maka sekali ini saja, Adrian mau melakukan itu. Dia ingin mengungkapkan apa yang dia inginkan.
Adrian menggigit bibir. Dia memejamkan mata sebelum akhirnya mengangkat kepalanya. Kini Adrian benar-benar menatap wajah ayahnya.
Adrian mengumpulkan semua keberaniannya lalu berkata, "Aku mau ikut!"