Adrian mengendap-endap ke kamar orang tuanya. Jam menunjukan pukul 1 dini hari. Kendati Adrian tahu betul kalau orang tuanya sedang lelap-lelapnya tertidur, tubuhnya tetap gemetar memasuki kamar itu.
Adrian makin menelan ludah. Dia hampir saja mengurungkan niatnya ketika tangannya memegang handle pintu dan terdengar ayahnya menceracau, untung saja ayahnya itu langsung tidur kembali. Mungkin Abimanyu hanya sedang mengigau.
Seumur hidup baru sekali ini Adrian memberanikan diri masuk ke ruang paling keramat di rumahnya. Semenjak ayahnya mendeklarasikan bahwa Adrian sama sekali tak boleh masuk kamar orang tuanya, Adrian langsung menurut. Tapi tidak untuk kali ini.
Adrian mau berubah. Dia mau berjalan bukan atas kemauan ayahnya semata. Maka langkah kali ini penting baginya.
Dengan tangan gemetar dan pandangan mengarah ke orang tuanya, Adrian menuju ke tempat gantungan baju. Dia lantas mencari celana ayahnya dan merogoh sakunya. Untungnya Adrian selalu mendengarkan ketika ibunya meminta uang. Abimanyu selalu menjawab untuk mengambilnya sendiri di dompet saku celana. Adrian jadi tahu barang penting yang sedang dicarinya berada di mana.
Tenggorokan Adrian terasa makin kering. Keringat di keningnya lambat laun mulai bercucuran. Berulang kali Adrian mendesis. Tangannya tak kunjung menemukan dompet yang dia cari. Sial! Celana ayahnya yang digantung itu punya banyak kantong.
Adrian makin bergegas. Dia ingat kebiasaan ayahnya yang sering ke toilet setiap malam. Bisa jadi malam ini juga demikian. Nahasnya tangannya tak meraba apa pun. Malam ini, kantong-kantong celana itu kosong.
Sebuah suara decitan terdengar. Adrian segera menunduk. Dia lantas membuka pintu pelan-pelan dan keluar. Adrian sangat bersyukur karena kasur orang tuanya mengeluarkan suara decit, jika tidak, tamatlah dia. Sedikit saja Adrian terlambat, Abimanyu pasti akan mengetahui kalau anaknya itu mulai bertindak di luar kendalinya. Terbukti, beberapa detik setelah Adrian berhasil keluar dan pura-pura akan ke toilet, Abimanyu juga keluar dari kamarnya.
Kendati jantungnya masih berdegup kencang, Adrian tetap menatap ke arah ayahnya. Bukan, Adrian bukan menatap marah seperti tadi sore. Dia justru menatap ayahnya karena berharap kalau ayahnya akan menyesal dan meminta maaf. Tapi ketika mata Abimanyu bersitatap dengan putranya itu, matanya masih mengandung sikap keras kepala. Abimanyu menatap Adrian dengan tatapan enggan. Dan Adrian sudah menebak itu. Tak pernah ada sejarahnya ayah meminta maaf pada anaknya.
***
"Bu, fotokopi KTP-nya sudah?" tanya Abimanyu sambil berlalu lalang. Dia tengah sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat mengurus sesuatu.
"Sudah, itu di meja makan," celetuk Sinta.
Adrian yang baru saja keluar dari kamar, langsung buru-buru ke meja makan. Tadi malam, dia pikir tak akan menemukan jalan lain selain bertanya pada ibunya, tapi pagi ini jalan itu terbuka.
"Itu tiga lembar, kan?" tanya Abimanyu lagi.