Adrian mendesah. Langkahnya terasa berat. Sorot matanya redup. Bahunya turun. Rasanya malas sekali untuk pulang. Adrian kenal sekali ayahnya. Abimanyu tipikal orang yang teliti. Adrian menduga kalau ayahnya itu sudah tahu fotokopi kurang.
Hari ini, hari sabtu dan besok Adrian akan seharian di rumah. Artinya, dia akan berhadapan dengan Abimanyu lebih lama dan itu memuakkan.
Adrian menghembuskan napas. Dirasanya mulutnya kering. Remaja itu baru sadar kalau dia tak makan apa pun semenjak istirahat kedua. Terakhir yang masuk ke dalam mulutnya hanya selembar tempe di kantin.
Sebuah daun kersen yang tersapu angin, jatuh di dekat kaki Adrian. Daun itu pun membuat Adrian menengok ke pohon di depan laboratorium kimia. Tanpa pikir panjang, Adrian pun menanggalkan tas dan menaruh tas itu di teras lab. Tak lupa, dia juga melepas sepatunya.
Kala di atas pohon, semilir angin langsung menerpa wajah Adrian. Rambut ikal remaja itu bergoyang-goyang. Adrian memejamkan mata, dinikmatinya belaian udara dingin yang mulai menyapa tubuhnya. Lalu kala dia membuka matanya, dilihatnya riak Sungai Lukulo yang berkilauan tersinari mentari senja. Sekolahnya yang berbatasan langsung dengan sungai, membuat Adrian bisa melihat pemandangan menakjubkan itu. Dia sedikit bersyukur karena tak menuruti larangan ayahnya dulu. Jika iya, mungkin selamanya Adrian tak bisa memanjat pohon sampai sekarang. Sama halnya dengan dia yang baru tahu kalau sesekali tidak belajar itu tidak buruk. Toh, nilainya sama saja hancur.
Adrian pun mencari tempat untuk duduk lebih nyaman. Perlahan tangannya meraih satu per satu kersen yang bisa dia jangkau. Adrian pun memakannya sambil melihat mentari yang kian menukik ke barat.
Sejenak Adrian berpikir tentang keputusannya. Masih ada sedikit rasa ragu dalam hatinya. Hanya saja, Adrian kira rasa marah kepada ayahnya telah memaksanya untuk nekad. Kali ini yang dirasakan Adrian bukan lagi takut melainkan malas mendengar ocehan ayahnya. Dan nanti atau mungkin besok, dia pasti akan dimarahi perihal KTP.
“Belum pulang?” seseorang bertanya dan mendongak ke atas.
Seketika lamunan Adrian buyar. Dia pun menatap ke bawah. Didapatinya Alya, tengah menatap dirinya. Adrian lalu menggeleng.
Alya tertawa kecil. “Kamu nih emang lebih betah di sekolah ya?”
Adrian balas tertawa. “Lagian besok Minggu. Seharian di rumah, kan?” jawabnya. Tangannya dengan cepat meraih kersen-kersen merah. Setelah terkumpul agak banyak, remaja itu pun turun.
“Mau nggak?” tawar Adrian. Tangannya membuka, menyuguhkan kersen-kersen lezat.
Alya tersenyum. Dia mengangguk lantas menengadahkan tangannya. Adrian pun memberikan kersen itu pada Alya.
“Makasih, lho,” kata Alya. Dia lantas mengambil sebuah kersen dari tangannya dan memakannya. “Ngomong-ngomong kok kamu jadi sering ke sini? Kayaknya awal-awal cuma aku doang, deh!” celetuknya kemudian.
Adrian tersenyum. Dia duduk. Diletakkannya sejumlah kersen di saku baju. Remaja itu mengambil satu dan melemparkannya ke mulut. Tangannya lantas meraih sepatu dan mengenakannya.
“Laper,” jawabnya.
Alya turut ikut duduk di samping Adrian. Dia masih memakan kersen pemberian temannya itu satu demi satu.
“Lapernya baru hari ini, ya? Kayaknya dulu tuh kamu sering pulang paling akhir. Ngapain aja emang?” tanyanya.
Adrian tersenyum. “Yaah biasa. Belajar demi ngejar kamu.”
“Kok ngejar aku?” Alya mengerutkan dahinya.
“Yang rangking paralel pertama pas tengah semester kemarin siapa?”
Mendengar perkataan Adrian, Alya tertawa. “Ternyata kamu bisa lucu juga ya, Yan?”
Adrian terkekeh. “Aku serius, Al. Tapi itu dulu, sekarang aku udah males.”
“Males ngejar aku atau males apa?”
“Males belajar.”