“Rumahmu gede juga, ya!” tanggap Wisnu kala sampai.
“Mau mampir dulu?” tawar Adrian. Dia mencoba untuk ramah.
Wisnu menggeleng. “Besok kan aku ke sini. Senin ada PR biologi sama matematika, kan?”
“Kan aku kemah!” jawab Adrian. Dia seketika langsung menutup mulutnya, takut orang tuanya dengar.
“Mau kemah, kek, nggak, kek. PR tetap PR, yang pasti kamu bakal ngumpulin karena dinilai.” Wisnu tertawa. Dia pun kembali menaiki sepedanya. “Ok sampai jumpa besok! Bye!”
“Bye!” balas Adrian lalu masuk ke pelataran rumahnya.
Perlahan, Adrian memasukkan sepedanya ke garasi. Saat tangannya menyentuh gagang pintu, sedikit rasa takut mampir ke hatinya. Tapi mau bagaimana lagi? Satu-satunya tujuannya saat ini hanyalah rumah. Adrian tak tahu mau kemana lagi setelah pulang sekolah.
Adrian mengembuskan napas lalu membuka pintu. Dia pun menyapu pandang, mencari di mana keberadaan orang yang paling ditakutinya. Sejauh matanya memandang, tak ada siapa pun di ruang tamu. Itu artinya Abimanyu masih belum pulang atau mungkin ada di ruangan lain.
Segera saja Adrian menutup pintu pelan-pelan lantas hendak masuk ke kamar. Namun baru saja dia melepas sepatunya dan menaruhnya di rak, Abimanyu keluar dari dapur.
“Ian!” teriaknya seketika.
Tangan Adrian yang sudah berada di gagang pintu, langsung melepasnya. Adrian lalu memejamkan matanya. Dia mencoba menata kembali hatinya. Untuk kali ini, remaja itu ingin mempertahankan apa yang dia mau.
“Kenapa baru pulang?” tanya Abimanyu.
Lelaki itu menyilangkan tangan di depan dada. Jika biasanya Abimanyu hanya akan menatap datar, kini tatapannya lebih dari itu. Kedua alis Abimanyu bertaut. Wajahnya mendung. Bibirnya mengerucut. Tidak ada satu pun emosi lain kecuali amarah yang menetap di sana.
Abimanyu telah menunggu kepulangan putranya sangat lama. Seiring detik jam yang bertambah, seiring itu juga amarahnya tumbuh.
“Kalau ditanya, jawab!” bentak Abimanyu.
Adrian tak menurunkan kepalanya. Badannya yang biasanya bergetar kini sedikit tenang. Dengan matanya yang sedikit menyala, Adrian menghadap ayahnya.