Minyak goreng meletup-letup ketika Sinta memasukkan tempe yang hanya dibumbui dengan air Masako. Sambil menunggu tempenya bisa dibalik, Sinta mengiris-iris bawang. Kendati tangannya begitu sibuk, tapi kepala Sinta justru mengamati pintu kamar mandi. Dia sedang menunggu Abimanyu keluar.
Semalam, Sinta sama sekali tak bisa tidur. Dia terus kepikiran tentang bentakan Abimanyu kepada Adrian. Waktu itu, Sinta tak menghentikan suaminya itu karena dirasa Adrian memang salah. Mencuri sekecil apa pun barangnya, tetaplah mencuri. Dan tindakan itu sangat tercela. Namun ketika Sinta mengetuk kamar Adrian dan sama sekali tak dijawab, Sinta pun berpikir ulang. Apakah sepenuhnya salah Adrian?
Saat Sinta merebahkan dirinya dan Abimanyu menyusul ke sampingnya, pikiran Sinta berkelana ke belakang. Dia teringat bahwa Adrian sudah terlebih dahulu minta baik-baik kepada Abimanyu, tapi ditolak. Dan dia ingat bahwa dirinya tak pernah melakukan inisiatif untuk memenuhi permintaan anaknya. Entah itu sejak Adrian masih kecil maupun sudah besar sampai sekarang. Jika Abimanyu sudah memutuskan sesuatu, maka Sinta akan mengikutinya.
Malam itu, Sinta hendak membicarakan mengenai Adrian. Tapi melihat suaminya yang sama sekali tak berkata-kata sehabis membentak Adrian separah itu, membuat Sinta mengurungkan niatnya. Berbicara saat lelah pasti percuma. Maka sekarang, saat tubuh sudah istirahat dan pikiran telah dipenuhi oleh hal-hal positif, Sinta hendak berbicara dengan Abimanyu.
Derit pintu terdengar. Langkah Abimanyu mulai terlihat. Sinta segera mengangkat tempe lalu menaruhnya di piring. Dia mematikan kompor.
Seperti biasanya, Abimanyu duduk di meja makan. Dia ambil gorengan yang disajikan Sinta sambil menunggu kopinya jadi.
“Adrian sama sekali nggak mau bicara sama kita, Mas,” desah Sinta.
Tangannya meracik kopi dengan cepat seperti yang Abimanyu selalu minta. Ketika sudah selesai, Sinta menyajikannya dan duduk di depan suaminya.
“Apa perlu sampai segitunya marahin Adrian?” tanya Sinta. Nada suaranya sedikit sarkas.
Lidah Abimanyu yang baru saja mencicipi nikmatnya kopi pagi hari langsung merasa hambar. Diletakkannya cangkir kopinya itu dengan kasar.
“Kamu suka anak kita jadi pencuri?” tanya Abimanyu. Matanya menatap sinis Sinta sedang tangan kanannya masih memegangi cangkir kopi.
“Semua orang tua pasti mau yang terbaik buat anaknya, Mas, termasuk aku.”
“Jadi kamu pikir, aku nggak mau yang terbaik?”