Kersen Merah Jambu

Fasihi Ad Zemrat
Chapter #16

DEKLARASI

Waktu masih subuh. Tidak ada orang yang lewat. Belum banyak suara. Sinar matahari masih sempurna bersembunyi di langit timur. Hanya ada pancaran cahayanya yang malu-malu menyembul dari sana. Biasanya di jam segini, rumah Adrian sudah gaduh, tapi hari ini terasa sangat sunyi. Hanya ada satu orang yang terlihat dan itu Adrian.

Dengan senyum di wajahnya, Adrian keluar dari garasi. Sepeda yang dituntunnya pun dinaikinya. Kali ini, remaja itu sama sekali tak merasa malas untuk sekolah. Hari ini, dia akan merasakan sesuatu yang berbeda.

“Selamat tinggal Ayah!” lirihnya lalu mulai mengayuh.

Tadi malam, Adrian masih bimbang akan menjalankan aksinya atau tidak. Sebagaian hatinya merasa berat dan sebagiannya lagi justru merasa harus. Jujur, remaja itu juga takut. Tapi ketika adzan subuh berkumandang, entah mengapa, semua keraguannya menghilang. Pikirannya terasa tenang. Dan pagi ini, dia merasa lega.

Hujan semalam, menyamarkan suara persiapan Adrian. Sedangkan sisa hujan pagi ini, membuat siswa SMA itu merasa lapang. Ketika Adrian sampai ke sekolah dan menaruh sepedanya di parkiran, dia menatap ke genangan air. Dilihatnya pantulan dirinya di genangan air itu lalu tersenyum.

“Lebih baik seperti ini!” katanya dalam hati.

Adrian lantas melenggang menuju kelas. Hari ini, dia memakai baju identitas sekolah, sangat berbeda dengan siswa yang lain. Hari senin khusus memakai seragam OSIS. Awalnya, Adrian ingin memakai seragam putih abu-abu itu. Dia malu menjadi beda dari yang lainnya. Terlebih yang memakai seragam identitas sekolah, hanya sepuluh orang. Dua dari kelas sepuluh dan sisanya dari kelas 11. Tapi ketika dia mengaca dan sadar ingin mulai berubah, dia langsung memberanikan diri. Lagipula beda bukanlah hal yang memalukan. Bukankah Adrian akan mewakili sekolah dalam perkemahan?

Demi ke sekolah tepat ketika gerbang dibuka, Adrian berputar-putar. Dia memutari kota, alun-alun demi merasakan sejuknya pagi di kota. Dia juga sempat mampir ke penjual bubur untuk mengisi perutnya. Hari ini, untuk pertama kalinya, dia tak sarapan di rumah.

Baru ketika jam menunjukan pukul enam pagi. Adrian pun menuju sekolah. Sesampainya di sana, suasana masih sunyi. Adrian memutuskan untuk menuju ke depan sekolah. Di sana ada penjual bubur kacang hijau. Setelah membelinya, remaja itu langsung masuk ke kelas. Diputarnya instrumental kesukaannya sembari memakan bubur kacang hijau. Adrian sama sekali tak memutar film atau youtube. Dia makan sembari ditemani khayalannya. Khayalan yang mulai hari ini akan terwujud.

Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan bubur kacang hijau yang cuma satu plastik itu. Setelah minum, Adrian mengeluarkan buku tugas matematika dan biologinya. Ternyata guru matematika dan biologi tak mentolerir kepergian Adrian. Mereka tetap mengharuskannya mengumpulkan PR dengan dititipkan ke teman. Aslinya, Adrian sama sekali tak peduli. Dia hampir saja tak akan mengerjakannya. Jika saja Wisnu tak menghubunginya lewat video call, Adrian pasti tak akan menyentuh buku-bukunya lagi. Dan akhirnya, PR itu pun hampir selesai dan beberapa nomor yang tak rampung malam itu, dikerjakan Adrian sendirian.

“Bukumu letakin aja di bangku. Nanti yang belum selesai biar aju jiplakin dari temen yang lain,” ujar Wisnu sebelum menutup video call-nya.

Saat itu, Adrian hanya mengangguk. Cuma malamnya, dia sama sekali tak bisa tidur. Dia memikirkan untuk membantu Wisnu. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena mau duduk dengannya. Untuk itu, akhirnya dia pun mengerjakan sisa soal yang tak bisa dia kerjakan dengan mengetikkan soal di Google. Tidak ada yang persis sama. Hanya ada yang mendekati. Adrian pun mengotak-atik soal itu sampai akhirnya ketemu.

Maka pagi ini, Adrian meletakkan bukunya di meja. Dia tersenyum. Adrian yang dulu, mungkin akan was-was jika buku tugasnya diletakkan sembarangan, tapi Adrian yang sekarang berbeda. Dia sama sekali tak peduli jika PR-nya dicontek semua orang. Remaja itu juga tak peduli bagaimana hasilnya nanti. Semua ini demi deklarasi perang kepada ayahnya.

“Pagi, Ian!” sapa Alya ramah. Tangannya melambai-lambai. Wajahnya berseri dan lesung pipinya tampak manis sekali.

“Pagi!” balas Adrian.

“Kayaknya udah siap aja, nih!” kata Alya. Alisnya naik-turun. Ujung-ujung bibirnya tertarik. Mulutnya sedikit terbuka. Wajahnya tampak semangat. Kepala Alya sedikit condong ke arah Adrian.

Adrian seketika tersenyum. Wajah datar yang sedari tadi menemaninya hingga ke sekolah, hilang. Wajah itu menguap, berganti dengan senyum yang cerah. “Siap, dong. Siap ngalahin kamu!”

Sontak Alya ternganga. Dia tertawa. “Kamu? Ngalahin aku? Jangan mimpi, deh!”

Adrian tertawa. “Lihat aja nanti!”

“Ok! Tapi yang pasti kamu nggak bisa ngalahin aku buat sampai ke ruang pramuka dulu!” sahut Alya lalu gadis itu berlari.

“Eh curang!” teriak Adrian lantas mengejarnya.

 *** 

Roda mobil pick up, melaju membelah keramaian kota. Di baknya, terdapat 10 siswa dengan seragam identitas yang duduk, saling berhadapan. Mereka sama-sama tertawa, menyanyi bersama demi mengusir hawa dingin di pagi hari. Mereka semua sedang membuat yel-yel kedatangan yang pantas untuk ditampilkan nanti. Yel-yel yang bisa membuat mereka tampak gagah di depan peserta perkemahan yang lain. Sepuluh orang itu tahu kalau perkemahan kali ini, bukan perkembahan dalam rangka lomba. Tapi mereka semua juga sadar kalau mereka semua membawa nama baik pramuka MAN 2.

Lihat selengkapnya