“Di sini, siapa yang siap jadi pasukan obor?” tanya tentara dengan tegas.
Beberapa peserta yang muslim baru saja melakukan salat magrib, sedang yang lain istirahat. Karena perkemahan ini kemah kebangsaan, maka tidak semua pesertanya beragama Islam. Ada juga yang Kristen, Hindu, bahkan Buddha. Tapi ada satu kesamaan di antara mereka semu. Tak ada satu pun yang mengajukan diri.
Semua peserta saling pandang. Sesekali mereka melihat ke tumpukan kayu bakar yang ada di tengah-tengah lapangan. Upacara api unggun dilaksanakan sehabis isya. Latihannya pasti sangat singkat dan dituntut untuk langsung bisa. Sekali saja melakukan kesalahan, maka rasa malu siap menghadang.
“Eh Ian, mau terlihat gagah di depan doi, nggak?” bisik Saka.
“Hah?”
Saka tersenyum. Tanpa menunggu persetujuan Adrian, dia meraih tangan Adrian dan membuatnya mengangkat tangan. Tak hanya itu, Saka juga mengangkat tangannya sendiri.
“Ya, bagus! Kalian maju sini!”
Belum juga paham dengan apa yang terjadi, Saka menarik tangan Adrian. Adrian yang sedari tadi melamun pun dengan mudahnya digeret. Dia sama sekali tak bisa melawan kekuatan Saka yang jauh lebih besar darinya.
“Aku lupa cara gerak jalan!” bisik Adrian sehabis tahu apa yang terjadi.
“Nanti juga dilatih!” balas Saka.
“Tapi ….”
“Ssst … udah percaya aja. Daripada percaya sama sumur nggak jelas, mending percaya kalau kamu sekarang keliatan gagah di depan doi. Coba kamu lihat cewek yang kamu taksir, doi pasti lagi merhatiin kamu sekarang!”
Saka tak tahu siapa yang dilihat Adrian tadi sore. Dia menarik Adrian karena dia ingin maju menjadi pasukan obor, tapi malas kalau jadi yang pertama.
Namun, Adrian benar-benar mengedarkan matanya. Dia melirik ke Alya. Tak sengaja mereka bertemu pandang yang membuat Adrian malu sendiri. Dia mau menunduk, tapi hati terdalamnya menolak.