“Yang baik-baik ya di sini!” kata Sinta setelah menyerahkan Adrian ke pengurus pesantren.
Adrian mengangguk.
Untuk kali ini, Sinta tak lagi bisa membendung air matanya. Dia merengkuh tubuh anaknya. Didekapnya Adrian sangat erat, seperti tak akan bertemu lagi.
“Jaga diri ya! Setiap Minggu, Ibu usahakan ke sini!”
Adrian mengangguk. Dia biarkan ibunya memeluk dirinya sepuas yang dia mau. Namun Adrian juga tak membalasnya. Alih-alih memeluk ibunya balik, tangan anak laki-laki itu lebih memilih diam.
Setelah hampir dua menit, Sinta akhirnya melepas pelukannya. Dia kecup dahi Adrian lalu pergi ke mobil. Adrian masih di sana. Wajahnya datar, sedatar triplek. Sedatar wajah kartun yang digambar anak-anak. Adrian tidak tersenyum pula tidak cemberut. Emosi seakan pergi dari dalam dirinya. Dia tak melambai ketika ibunya pergi.
Di dalam mobil, Sinta mengusap air matanya. Dia menoleh ke dasbor mobil. Di sana ada hiasan foto ketika Adrian baru lahir. Abimanyu tampak bahagia sekali. Foto itu terkurung di dalam resin. Sudah 15 tahun berlalu dan foto itu masih awet. Tapi kenapa kebahagiaan tak bisa seawet itu?
Sinta mengelap ingusnya. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Matanya yang tadi dipenuhi dengan kesedihan, kini dipenuhi dengan kekuatan misterius. Kekuatan seorang emak-emak yang menginginkan sesuatu. Sinta, mulai hari ini, akan terus bertarung demi keharmonisan keluarganya. Abimanyu harus sadar dan Adrian harus memaafkan ayahnya.
“Ayok, ke kamarmu!” ajak Satria, pengurus pondok yang menyambut Adrian.
Adrian mengangguk. Dia lalu mengambil tasnya. Satria ikut membantu Adrian mengangkat tasnya.
“Pondok masih sepi karena semuanya lagi sekolah,” jelas Satria tanpa diminta.