Abimanyu termangu. Dia duduk di ruang keluarganya yang sunyi. Tatapannya mengarah ke kamar anaknya yang sekarang terbuka lebar. Di sana, di ruangan itu sudah tak ada apa pun lagi selain ranjang yang kosong. Kamar itu bersih seperti tak pernah ada yang menempatinya.
Telapak kaki Abimanyu bergerak-gerak menginjak lantai. Dia tak bisa tenang. Setengah hatinya ingin masuk ke kamar itu, sedang setengah hatinya tidak. Pikiran lelaki paruh baya itu penuh dengan pertanyaan. Dia masih menerka-nerka kenapa anaknya bisa sekurang ajar itu. Apa yang salah? Apa pergaulan Adrian? Atau bacaan anak itu? Atau mungkin tontonannya?
Abimanyu yakin sepenuhnya kalau dia telah mengontrol semua itu. Adrian tak pernah boleh membaca apa pun selain pelajaran. Di ponsel anaknya itu, Abimanyu juga telah memasang kontrol orang tua. Setiap malam, dia mengecek ponsel anaknya. Tapi tak ada apa pun yang mencurigakan. Lalu kenapa anaknya itu menjelma jadi anak yang tak pernah Abimanyu kenal?
Tangan Abimanyu mengepal lalu menggebrak meja. Abimanyu tak mengerti dengan apa yang terjadi. Dia sudah bersikap sehalus yang dia bisa. Dia tak memperlakukan Adrian seperti yang dilakukan oleh nenek Adrian ke Abimanyu dulu. Uang, selalu Abimanyu kasih. Keinginan, selalu Abimanyu turuti. Tak pernah sekali pun Abimanyu memukul anak itu. Tak pernah sekali pun Abimanyu menyuruh anaknya untuk kerja sendiri. Tapi apa hasilnya sekarang? Adrian justru memberontak.
“Apa Ayah tahu kalau aku pernah dibully di SMP? Ayah tahu itu? Nggak kan? Dan aku yakin Ayah nggak peduli.”
Kata-kata Adrian kembali terngiang dalam kepala Abimanyu. Kini Abimanyu jadi bertanya-tanya. Apakah Adrian pernah dirundung? Jika iya, kenapa anak itu tidak mau cerita? Sepengecut itukah anaknya sampai jadi korban perundungan?
“Alah itu cuma kalimat anak bodoh!” ujar Abimanyu menepis pikirannya sendiri.
Ya, Adrian cuma ingin mendramatisir suasana. Beberapa kali Abimanyu menemukan komik dan novel di kamar anaknya itu. Semuanya kini telah dia bakar. Abimanyu juga menemukan beberapa buku tulis berisi gambar dan cerita aneh. Semuanya juga telah Abimanyu musnahkan. Maka saat itu, untuk mempertegas kehendaknya, Abimanyu merobek buku Adrian tepat di saat anak itu pulang. Dia tak lagi sembunyi-sembunyi untuk merampas buku-buku aneh itu. Jadi gara-gara asupan dan hobi tak jelas itu, Adrian pasti mengarang semua itu. Dia mengarang kalau pernah dirundung. Dia juga mengarang kalau minum suplemen agar bisa pintar.
“Dasar anak tak tahu diri!” murka Abimanyu,
Lelaki itu pun berdiri. Dia masuk ke kamar lantas menendang tempat sampah di depan kamar anaknya. Sampah-sampah di sana pun berserakan. Kertas-kertas beterbangan, rautan pensil berhamburan, dan botol-botol obat menggelinding tak tentu arah. Tempat sampah di depan kamar Adrian jarang dibersihkan karena sampah di sana kering dan tertutup. Sinta biasa membersihkan tempat sampah itu ketika Adrian ada di rumah, menanyai anak itu apakah ada barang yang harus dibuang atau tidak. Maka tempat sampah itu yang kini menjadi bukti bahwa pemikiran Abimanyu salah.
***
“Lho kok kamu di sini?” heran seseorang ketika masuk ke kamarnya. Dia masih mengacak-acak rambutnya. Terlihat jelas kalau dia habis mandi. Handuk masih menggantung di pundaknya dan di tangannya terdapat gayung lengkap dengan perlengkapan mandi.
Adrian mengucek-ngucek matanya. Dia menggeliatkan badan lantas menguap. Adrian pun duduk, melihat dengan jelas siapa yang mengajaknya bicara.
“Wisnu?” tanya Adrian.
“Gilee, udah kencan, pake libur segala. Enak bener hidupmu, Yan!” kata Wisnu sambil tertawa. Dia menaruh perlengkapan mandinya di pojok rak yang telah disediakan. Dia lantas menjemur handuk di luar sebelum akhirnya kembali masuk ke kamar.
“Nggak berangkat sekolah?”