“Itu mata dipake buat liatin lantai yang kotor, bukannya malah liatin Alya. Emang Alya itu kotoran sampai diliatin segitunya?” seloroh Wisnu.
Yang diajak bicara justru masih diam. Wajahnya masih lurus menghadap ke depan, ke sebuah jendela. Di sana, di jendela itu, dengan jelas terlihat Alya yang tengah memegang ponsel. Dia seperti tengah menyekrol media sosial.
“Yee kuping buat gantungan doang!” sambar Wisnu sambil menabrak punggung Adrian dengan bahunya.
Dengan tanpa wajah bersalah sama sekali, Adrian menoleh ke Wisnu.
“Nyapu, Yan! Nyapu! Bukan malah lirikin cewek! Aku panggil aja, ya!” Wisnu menarik napas, “Al …!” teriaknya.
Segera saja Adrian membekap mulut temannya itu. “Bisa diem nggak!” sungutnya.
“Kan biar kamu fokus. Kalau lirikin terus kapan bersihnya nih kelas?”
“Bersih, kok!”
Wisnu menyipitkan matanya, sangsi. “Standar bersih di rumahmu kayak gimana sih, Yan?” sindirnya sambil menunjuk lorong bangku yang baru saja disapu oleh Adrian.
“Hehe!” kekeh Adrian. Dia pun kembali ke belakang, menyapu dari semula. Lorong yang dilewatinya masih terselimuti debu tebal.
Kendati Adrian menuruti perintah Wisnu, matanya masih saja sesekali melihat Alya. Gadis itu sekarang tersenyum. Adrian benar-benar ingin tahu apa yang sedang dipikirkan Alya karena sejak menginjak kelas 11, hubungan mereka merenggang. Atau mungkin lebih tepatnya menjauh. Tanpa Adrian duga, kelasnya justru menempati lab kimia yang artinya tak pohon kersen di depannya tak akan pernah sepi lagi.
“Aku panggilin beneran nih lama-lama!” Wisnu geregetan.
“Iya-iya, nih bersih!” balas Adrian. Tangannya kali ini benar-benar menyapu dengan teliti. Tak ada satu pun sudut yang terlewat.