Siapa pun Kang Zaki tak akan bisa merebut Alya. Paling tidak begitulah yang Adrian pikirkan. Alya sudah mengikat janji dengannya. Atas kemenangannya waktu di kemah, Adrian meminta agar Alya mengajukan diri menjadi CBCDA atau cikal bakal calon dewan ambalan bersama dirinya. Adrian yakin Alya tak akan mungkin mengingkari janji yang sudah dia buat sendiri.
“Pejamkan mata!” kata komandan pasukan.
Semua andik langsung melakukan perintah. Kendati mereka penasaran dengan instruksi yang diminta, tak ada satu pun andik yang mengintip. Mereka tahu kalau melanggar perintah itu, akan ada dewan yang datang lalu mengintimidasi mereka. Tidak semua dewan suka berteriak-teriak. Ada juga dewan yang lebih suka berhadapan langsung dengan andik. Wajah menghadap wajah. Dewan itu akan berbicara pelan tapi dengan kata menusuk.
Sayup-sayup Adrian merasa ada yang berjalan ke arahnya. Seok suara sepatu, terdengar mendekat. Adrian kira seseorang akan dipanggil. Namun dia salah. Sebuah tangan menepuk pundaknya lalu suara langkah kaki itu menjauh.
Tepat seperti dugaannya kalau dia pasti terpilih karena sudah mengajukan diri.
“Kepada semua andik yang pundaknya disentuh, silakan buka mata dan pindah barisan ke belakang sekolah,” instruksi komandan pasukan.
Komandan itu lantas menarik napas, bersiap mengeluarkan suara yang lebih keras. “Kepada semua andik yang pundaknya disentuh, tanpa penghormatan, bubar barisan, jalan!”
“Pra-mu-ka jaya!” ujar serempak semua andik yang pundaknya disentuh.
Semuanya lantas keluar barisan dan berlari menuju belakang sekolah. Sejenak Adrian mengamati siswi yang terpilih, tapi dia sama sekali tak melihat Alya.
“Lari, Dek!” teriak seorang dewan yang menyadari Adrian berhenti di tengah perjalanan.
Adrian kembali berlari. Mungkin karena banyak orang yang lalu lalang, dia tak melihat Alya. Mungkin nanti ketika dibariskan di luar, dia akan bisa melihat gadis itu.
Nahas, meskipun yang berbaris lebih dari 100 orang, dia tak melihat Alya. Bahkan setelah penggemblengan peraturan baris berbaris pun, Adrian tak melihat Alya.
Keesokan harinya, Adrian baru melihat Alya. Gadis itu tengah terlihat serius dengan buku fisikanya. Bahkan ketika jam pelajaran kedua, Alya keluar membawa surat dispensasi. Adrian baru tahu kalau gadis yang dicintainya itu tengah mengikuti minggu olimpiade.
Bahkan ketika ada pelatihan CBCDA lagi, Alya kembali tak ikut. Adrian yang penasaran akhirnya menunggu di bawah pohon kersen, berharap Alya akan muncul meski hari sudah mau maghrib.
Remaja itu pun meletakkan tasnya di depan lab kimia. Dia copot sepatunya lantas memanjat pohon. Diputarnya instrumental kesukaannya. Judulnya Prodigal dan enak sekali kalau didengarkan menjelang matahari terbenam atau terbit.
Sembari instrumental berputar, Adrian memetik satu per satu kersen yang sudah matang. Adrian pun mengumpulkan kersen-kersen itu di sakunya. Setelah terkumpul banyak, Adrian pun berhenti. Dia memandangi riak air sungai yang memantulkan cahaya mentari senja.
Instrumental di ponsel Adrian masih mengalun. Kali ini di wajah ponsel itu tertulis ‘The Second Waltz’, sebuah instrumental yang dirasa Adrian memiliki irama yang sejuk lagi romantis. Adrian benar-benar ingat awal mula dia menyukai instrumental. Saat itu, meski dilarang oleh ayahnya, dia menonton sebuah film musikal. Lewat film itu, Adrian dibuat terpesona akan komposisi musik dengan pemandangan yang syahdu. Semenjak saat itulah, Adrian suka sekali melihat pemandangan yang indah sekaligus memutar instrumental yang menurutnya sesuai. Seperti saat ini, ketika dia sendirian di atas pohon. Tak ada yang mengganggu selain helaian lembut sang angin yang justru membuat Adrian makin tenang.
"Ngapain di situ?" tanya Alya kala dia sedang menuju ke parkiran. Matanya terarah ke seorang siswa yang tengah bergelantungan tak jelas di atas pohon.
Adrian menengok ke bawah. Mulutnya penuh dengan kersen. Begitu dia melihat Alya yang berada di bawahnya, Adrian langsung kehilangan pegangannya. Adrian pun seketika terjatuh tepat di depan Alya. Alya terkejut dan segera menolongnya. Namun sebelum tangan Alya menyentuh tubuh Adrian, remaja itu buru-buru berdiri.
“Nggak pa-pa?” tanya Alya, khawatir.
Adrian mengangkat jempolnya. “Nggak pa-pa,” katanya. Seharusnya jatuh menyebabkan beberapa tubuhnya sakit. Tapi Adrian justru tak merasakannya. Alih-alih memeriksa apakah ada badannya yang lecet atau tidak, Adrian justru fokus pada wajah Alya yang tampak khawatir.
Padahal kemah kebangsaan baru beberapa minggu yang lalu, tapi Adrian malah merasa kemah itu sudah berlalu satu tahun. Akhirnya Adrian tahu juga apa makna dibalik kata rindu.