“Bukannya membaik malah memburuk!” murka Abimanyu.
Sinta menghela napas. Dia memandang gedung pesantren yang lengang. Beberapa santri masih terlelap. Bahkan ada yang tertidur di emperan masjid.
“Kira-kira pergi ke mana ya, Mas?” tanya Sinta.
Satria tersenyum sopan. “Kurang tahu, Bu. Tadi subuh, setelah ngaji dia sama Wisnu izin. Katanya mau jalan-jalan.”
“Kira-kira balik ke sininya kapan?”
Satria menurunkan bahunya. Dia makin merasa tidak enak karena dia juga tidak tahu kapan Adrian kembali. Lain kali ketika ada santri yang izin, harus dia tanyakan arahnya ke mana.
“Mungkin Bapak-Ibu bisa menelpon Adrian?” usul Satria.
Sinta menatap Abimanyu, sedangkan Abimanyu justru melengos. Dia tak mau menjawab perihal ini. Sejak dari perkemahan, Abimanyu tak bisa lagi melihat foto profil anaknya.
“Kami sudah coba tapi tidak nyambung, Mas,” jelas Sinta.
Satria membuka pecinya lantas mengusap-usap rambut. “Atau coba saya cari dulu?” tawarnya.
Abimanyu yang sedari tadi membuang muka pun lantas menatap Satria. “Nggak usah, Mas. Bilang saja sama anak tidak tahu diuntung itu ….” Abimanyu hendak mencaci Adrian lagi. Tapi dia teringat akan botol obat yang dia temukan di kamar anaknya. Seketika perkataan Abimanyu pun berubah, “katakan pada Adrian kalau kami ke sini!” ujarnya.
Satria tersenyum lalu mengangguk. “Pasti saya sampaikan, Pak, Bu!”
Sinta pun meraih tangan suaminya. Dia mengajaknya untuk langsung pulang. Namun baru saja beberapa langkah, Abimanyu melepaskan tangan Sinta. Dia berbalik badan, kembali ke Satria.
“Sama ini, tolong berikan ke dia, ya!” katanya.
Satria menatap pemberian Abimanyu. “Semuanya, Pak?” tanyanya.
Abimanyu pun mengangguk. Dia kembali ke Sinta, menaiki mobil lantas pergi.