Kersen Merah Jambu

Fasihi Ad Zemrat
Chapter #34

LEBIH BAIK YATIM-PIATU

“Jangan sekali-kali membentak orang tua meskipun mereka melakukan hal yang tidak kita sukai. Bahkan ya berkata ‘Ah nanti saja, Bu,’ ‘Ah nanti saja, Pak!’ Itu tidak boleh. Apalagi sampai ben … tak!” terang kiai saat mengajar tentang Tafsir Jalalain.

Semua santri mendengarkan sambil menulis arti di bawah tulisan arab. Masing-masing dari mereka memegang kitab sendiri-sendiri. Semuanya sibuk mencatat tiap arti dan mendengarkan keterangan yang ada. Semuanya kecuali Adrian.

Remaja laki-laki itu justru denial dengan apa yang tengah disampaikan. Dia tetap beranggapan kalau apa yang dilakukannya pada orang tuanya, itu hal yang benar. Mereka yang memulai, bukan Adrian.

“Surat Al Isra’ ayat 23 ini mengandung perintah yang artinya wajib dikerjakan. Jadi jangan sekali kalian menyia-nyiakan orang tua kalian. Rawatlah mereka seperti mereka merawat kalian saat bayi.”

Adrian tahu kalau kiainya tak sedang menyinggung dirinya. Adrian bahkan ragu kalau Kiai Ali tahu kenapa Adrian berada di sini sekarang. Tapi pengajian kitab kali ini benar-benar membuat jiwa Adrian terusik.

“Kalau orang tuanya salah, masa nggak boleh marah Pak Kiai?” tanya seorang santri yang mengangkat tangannya.

“Marah itu wajar. Tapi kata-kata yang keluar jangan sampai menyakiti hati.”

“Contohnya gimana, Pak?”

“Bisa pakai puisi. Oh Ayahanda tercinta yang kusayangi dan hormati, hamba yang hina ini setuju dengan kelakuan itu.”

Santri-santri tertawa.

Setelah suasana kembali hening, Kiai Ali berdeham. “Atau kita bisa pakai bahasa kromo inggil. Sampaikan secara halus dan berulang. Jika mereka tetap ngotot, doakanlah. Sekeras apa pun orang tua, mereka tetap luluh pada air mata anaknya.” 

Adrian menelan ludah. Kata-kata terakhir itu sungguh menusuk hatinya.

“Ian! Ke kantor!” suruh Satria kala pengajian telah rampung dan Adrian hendak kembali ke kamar.

Adrian yang baru saja hendak naik ke tangga pun mengurungkan niatnya. Dia menengok ke Satria yang tengah melambai-lambai ke arahnya. Adrian pun mengangguk. Dengan masih membawa kitab di pelukannya, dia menemui Satria yang berdiri di depan kantor pengurus.

Sebelum Adrian sampai, Satria sudah lebih dulu masuk. Pengurus pondok itu lantas duduk.

“Kunci pintu dan tutup gordennya!” perintah Satria.

Adrian sedikit bingung dengan perintah Satria. Setahunya, tidak pernah ada yang mengalami kejadian seperti ini. Santri yang disidang karena melanggar aturan, tak pernah disuruh mengunci pintu dan menutup gorden. Adrian jadi merinding sendiri. Dia menelan ludah. Untuk mengantisipasi hal yang tidak-tidak, Adrian tak menutup rapat gorden. Dia juga tidak mengunci pintu dengan benar. Adrian pernah membaca artikel tentang kelakuan bejat pengurus pondok. Adrian curiga kalau Satria termasuk salah satu pengurus bejat.

Pikiran Adrian sedikit teralihkan ketika dia mendengar banyak santri yang lalu lalang di teras pondok. Itu artinya, Adrian bisa saja berteriak jika terjadi apa-apa. Jam juga masih menunjukan pukul sembilan, biasanya di jam segini, belum ada santri yang tidur. 

“Duduk, Yan!” suruh Satria.

Adrian pun duduk, tepat di hadapan Satria. Mereka hanya dihalangi sebuah bangku panjang yang biasa digunakan para ustadz untuk memimpin kajian.

Lihat selengkapnya