“Kayaknya pancaroba bukan cuma di langit ya, tapi bisa nempel di mukamu! Perasaan kemarin cerah-cerah aja, kenapa sekarang gelap kayak mau kiamat?” olok Wisnu.
Adrian yang lagi sibuk mengamplas resinnya pun terhenti. Dia menengok ke Wisnu, menimang-nimang apakah akan dia utarakan keluh kesahnya atau tidak.
“Berantem sama ayahmu?” sambung Wisnu.
“Kok tahu?”
“Ayahmu teriak-teriak gitu. Ya satu pondok tahu, lah. Untungnya pondok sepi karena pada keluar dan tidur. Jadi yang tahu cuma sedikit orang.”
Adrian mengembuskan napas. Bukan hal baru lagi dia mendengar hal semacam itu. Di lingkungan rumahnya saja, Adrian sering mendengar bisikan tetangga yang mengasihani dirinya.
“Pernah berantem sama orang tua?” tanya Adrian. Tangannya kembali mengasah resin agar semakin halus dan bulat sempurna. Kersen pemberian Alya, sudah aman di dalam sana. Kersen itu bersinar indah dan terlihat amat menakjubkan.
“Pernah. Bahkan aku sampai nyuri uang mereka.”
“Terus mereka marah dan maksa kamu ke pondok?” tebak Adrian.
“Apa? Nggak, lah. Mereka emang marah tapi mereka nggak maksa aku buat mondok. Aku mondok ya karena aku mau.”
“Terus gimana waktu mereka marah?”
“Mereka menyuruhku duduk dan jujur kenapa nyuri uang dan digunakan buat apa. Ya waktu aku jujur mau beli PS, mereka nyita uang jajanku selama beberapa bulan, sih. Abis itu ya udah.”