“Anjir! Beneran mau lari, dong!” puji Wisnu pada Adrian.
“Kan aku udah bilang,” jawab Adrian sambil mengencangkan sepatunya. Dia kini memakai kaos dan celana training. Dibungkusnya seragamnya di tas. Di kantung samping tas anak itu, terdapat perlengkapan mandi.
“Sumpah sih, ini kelewat niat. Padahal aku tadinya mau tidur sehabis ngaji, eh malah dipaksa mandi!” sungut Wisnu.
“Ya udah kalau nggak mau soto bu kantin gratis.”
“Iya-iya!” balas Wisnu tidak semangat.
Adrian pun berdiri. Tasnya ditaruh di sepeda Wisnu. Mulai hari ini haram hukumnya bagi dia memakai sepeda kecuali keadaan tertentu. Melihat Alya yang kian hari kian menempel dengan Zaki, membuat Adrian geram.
Selain soal lari pagi beberapa waktu lalu, Adrian juga melihat Alya dan Zaki yang boncengan bersama. Entah kenapa mereka melakukannya, tapi Adrian hanya bisa melihat dari kejauhan. Dia waktu itu tak bisa bertanya karena dia juga dalam seleksi CBCDA yang sekarang sudah memasuki fase BCDA atau bakal calon dewan ambalan.
Adrian memang tak bisa mencegah Alya pergi. Tapi paling tidak, dia masih punya kesempatan dengan menunjukan kemampuannya pada gadis itu. Selain ingin mengubah diri menjadi lebih macho tentunya, Adrian juga ingin punya jabatan. Dia dapat membayangkan betapa gagahnya dia ketika memakai seragam dewan ambalan di depan gadis itu. Belum lagi saat nanti Adrian mendapatkan piala bupati atas cerpen yang dibuatnya, Alya pasti akan langsung jatuh hati padanya.
Namun ternyata pikiran Adrian terlalu jauh. Baru juga setengah jalan sampai sekolah, dia terhenti. Napasnya terengah-engah.
“Mana tekadnya, katanya demi Alya!” sulut Wisnu.
Adrian mengembuskan napas kasar. Dia pun lanjut lari sampai sekolah.
Mungkin Adrian memang naif. Dia mengejar tiga tujuan dalam sekali tapak. Tidak ada istirahat baginya. Ketika istirahat, Adrian habiskan untuk membaca kumpulan cerpen. Tak hanya satu melainkan puluhan. Dia ingin menyempurnakan cerpen yang diminta Alya demi memenangkan piala bupati. Adrian juga secara khusus meminta bantuan guru Bahasa Indonesia untuk membimbingnya. Dia pun tampak sibuk, bahkan lebih sibuk daripada siswa olimpiade yang akan lomba hari ini.
Pemandangan Adrian yang tak biasa itu, menyita perhatian Alya. Gadis itu ingin bertanya, tapi melihat Adrian yang terus membolak-balik buku pemberiannya, membuatnya urung melakukan itu. Alhasil ketika Alya harus pergi untuk lomba, dia tak mengucapkan apa pun pada Adrian.
Namun perubahan banyak pasti perlu energi yang banyak. Akibat Adrian memundurkan jadwal tidurnya dari jam setengah sepuluh jadi tengah malam lalu bangun jam 4 dan lari pagi, tubuh anak itu kekurangan energi. Dia sering tertidur di kelas dan tak fokus dalam seleksi dewan ambalan.
“Pasukan saya ambil alih, siap grak!” teriak komandan pasukan di tengah-tengah lapangan. Postur tubuhnya tegap tak bercela.
“Kalau siap tangannya menggenggam bukan mengepal!” teriak dewan yang berjaga di belakang.
“Menggenggam, dek, bukan mengepal!” seru yang lain tak mau kalah.
Teriakan demi teriakan bersahutan, mengerumuni 50 bakal calon dewan ambalan. Dewan yang mendampingi pelatihan hanya sekitar 10 orang, tapi mata mereka mampu menjangkau para penerus mereka. Sekecil apa pun kesalahan, akan langsung mendapat teguran.
“Kalian tahu menggenggam nggak, sih?” tanya seorang dewan yang tentu dengan suara lantang.
“Contohin, Kak!” sambut dewan yang lain.
Para dewan yang tersebar di berbagai sisi andik pun mencontohkan bagaimana posisi tangan yang benar kala posisi sedang siap.