Wisnu menghentakkan kakinya. Jari-jemarinya terus memainkan pulpen. Dia tidak menulis. Padahal guru sedang menerangkan di depan dengan tulisan yang lebih mudah dipahami daripada di buku cetak. Wisnu tengah bingung. Berulang kali dia melirik Adrian tapi tak jadi. Dia tak tahu harus mengatakan apa.
“Kalau kebelet, ke belakang!” bisik Adrian yang risih melihat tingkah laku Wisnu.
Wisnu membuka mulutnya tapi tak jadi. Dia memilih untuk melihat papan tulis. Namun baru sebaris yang dia tulis, Wisnu kembali menatap Adrian.
“Kenapa, sih?” tanya Adrian tak sabar.
“Aku dapat kabar tapi kamu jangan kaget, ya!” papar Wisnu.
“Kabar apaan yang bikin kaget? Pengumuman lombaku masih lama kali.”
Wisnu mengulum bibirnya. Dia ragu-ragu mengungkapkan ini. Tapi dia sadar kalau berita ini disimpan justru akan membuat Adrian semakin sakit. Akhirnya Wisnu pun mendekatkan bibirnya ke telinga temannya itu.
Mendengar apa yang dikatakan Wisnu membuat kening Adrian berkerut. Air wajah Adrian yang tadinya damai, berubah jadi keruh. Mulutnya sedikit ternganga. Pandangannya tak lagi fokus pada pelajaran di depan.
“Pasti bercanda, kan?” terka Adrian.
Wisnu diam. Ekspresinya serius. “Nggak mungkin aku bercanda masalah serius kayak gini,” jelas Wisnu dengan nada lemah.
“Mana mungkin ….”
“Ian, Wisnu, kalau diskusi silakan di depan!” potong guru yang tengah menjelaskan.
Wisnu pun diam. Dia beralih untuk menulis materi yang ada.
Adrian justru sebaliknya. Dia tak lagi fokus menulis materi yang ada. Remaja itu justru menyapu pandang, fokus pada apa yang dibicarakan Wisnu. Dari itu Adrian pun bertekad harus melakukan sesuatu saat pulang sekolah nanti.
***
Setelah sekian lama, Adrian kembali duduk di bawah pohon kersen. Dikeluarkannya bandul kersen merah jambu dari sakunya. Dipandanginya bandul itu dengan senyuman yang tersisa. Setelah mendengar apa yang Wisnu sampaikan, senyum Adrian memudar. Rasa bangganya karena telah menjadi salah satu dewan yang terpenting di pramuka, hilang. Dia juga tidak peduli lagi apakah cerpen yang digarapnya bisa juara atau tidak.
Adrian duduk di depan lab kimia. Dia tak memanjat kersen atau memakan buahnya. Dia hanya duduk memandangi bandul kersen merah jambunya sambil menunggu orang. Padahal Adrian tak tahu apakah orang yang ditunggunya akan benar-benar menghampirinya atau tidak. Tadi sebelum pulang, Adrian menaruh gambar pohon kersen di meja Alya. Entah gadis itu akan mengerti atau tidak. Mulut Adrian terlalu berat untuk memintanya secara langsung.