Perahu yang ditumpangi Adrian akhirnya sampai juga. Adrian segera turun. Dia membayar perahu dan mengelilingi pulau kecil di tengah danau. Setelah menemukan Batu Cinta, akhirnya Adrian berhenti di dekatnya. Dia siap menunggu Alya.
Kabut turun, membuat pandangan di sekitar danau menjadi putih bersih, seputih pikiran Adrian sekarang. Adrian tak henti-hentinya tersenyum. Meski dulu dia sangat kesal dengan sikap egois Alya, sekarang, dia justru sangat bersyukur pernah bertemu gadis itu.
Jika tak pernah bertemu Alya, mungkin kehidupan Adrian masih dipenuhi rasa takut. Dia akan terus merasa takut dan menyimpan dendam pada ayahnya. Mungkin dendam itu suatu hari nanti bisa meledak lalu membuat Adrian melakukan sesuatu yang mengerikan. Adrian sangat bersyukur karena konflik keluarganya justru selesai di pondok.
Adrian mengembuskan napas. Dia mendekat ke dekat danau lalu membasuh wajahnya. Meski dingin, dia merasakan kesejukan yang luar biasa. Adrian pun duduk dan memandang koran yang dibawanya.
Adrian masih tak menyangka cerpen yang dulu dia persembahkan untuk Alya justru kini dimuat di koran. Padahal Adrian bertekad untuk berhenti menulis karena hilang arah. Cerpen itu tidak memenangkan apa pun, baik piala bupati ataupun hati Alya. Tapi gara-gara cerpen itu justru guru bahasa Indonesia meminta Adrian untuk terus menulis. Dia tak henti-hentinya menagih tulisan dari Adrian. Diam-diam Bu Emi, mengirimkannya ke media atau ke lomba, seringkali gagal tapi tak jarang pula dimuat. Tak tanggung-tanggung, gambar Adrian juga dijadikan ilustrasi atas cerpennya itu.
Waktu itu, setelah yakin bahwa teknik menulisnya membaik, Adrian kembali mengedit cerpen-cerpen lamanya. Dan dia pun menemukan cerpen pertamanya untuk Alya. Tanpa pikir panjang, Adrian kembali mengeditnya dan mengirimkannya ke koran.
Mungkin itulah yang dinamakan takdir. Koran yang disebarkan secara nasional berhasil dibaca Alya. Dan atas izin Tuhan, Alya justru mencari kontak Adrian dan menghubunginya. Maka kini, Adrian menunggu di tempat legendaris akan abadinya cinta.
“Yan …,” panggil seseorang.
Adrian menoleh. Wajahnya tambah sumringah. Walaupun sudah tujuh tahun berlalu, suara itu masih sama. Suara seorang gadis mungil nan cantik dengan lesung pipi yang unik.
“Alya,” sapa Adrian balik.
“Apa kabar?” tanya Alya.
Senyum Adrian mengembang. Wajahnya tambah sumringah. Ternyata setelah tujuh tahun, wajah Alya tak berubah. Dia sama manisnya dengan apa yang terakhir kali Adrian ingat.
“Baik, kamu?”
Alya mengangguk. Dia turut tersenyum. Dalam mata Alya, dia justru pangling dengan penampilan Adrian kini. Teman yang pernah dekat dengannya itu kini memiliki perawakan yang kekar. Rambut ikalnya juga rapi. Tatanannya seperti Henry Cavill. Dia tampak gagah sekaligus dewasa.
“Mau jalan-jalan?” tanya Alya.