Setelah melaksanakan evaluasi atas kegiatan seminar nasional yang baru saja dilaksanakan, Tiar menuju parkiran kemudian memacu motornya keluar kampus. Namun, kali ini tidak kembali ke tempat tingalnya, ada suatu tempat yang ingin ia tuju.
Tiga puluh menit berjalan akhirnya ia sampai, memarkir motornya di depan kedai buku langganan yang terletak di belakang stadion.
“Monggo nak Tiar, habis dari mana?” Bapak penjaga kedai langsung menyapa dengan hangat.
“Dari kampus pak, mau sedikit menenangkan pikiran.” Jawab Tiar.
“Yawes[1] sini duduk dulu, tak ambilkan minum.”
Mereka berdua memang sudah saling akrab, bahkan sudah selayaknya anak dan bapak. Mulai dari semester pertama, kedai buku milik pak Darwin memang menjadi langganannya. Banyak buku-buku yang tersedia mulai dari novel sampai dengan buku-buku akademik, buku baru maupun bekas juga banyak. Dan yang paling penting adalah semua buku-buku bisa di dapatkan dengan harga yang relatif murah.
Tiar sering berkunjung, tidak selalu membeli buku, hanya sekedar membaca ataupun mengobrol dengan pak Darwin. Hal inilah yang menciptakan kedekatan antara keduanya. Pak Darwin sebenarnya adalah asli Yogyakarta, kemudian mendapatkan istri orang Semarang dan menetap di sini.
Tiar juga beberapa kali main ke rumahnya, dengan istri pak Darwin Tiar juga cukup dekat. Keramahan dari kedua orang tersebutlah yang membuat Tiar nyaman diperantauan dan sudah menganggapnya seperti orang tua sendiri.