Hidup adalah sebuah kepastian, mau seberapa keras kau berusaha takdirmu sudah dikunci semenjak lahir. Maka dari itu aku sangat benci kepada mereka para bangsawan yang mengobral janji-janji perubahan kepada rakyat kecil sepertiku ini.
“Heh kau pasti sedang bergumam hal yang aneh lagi,” ucap seorang pria muda.
“Hmm itu bukan urusanmu.”
“Iya-iya kau ini berlagak dingin padahal sebenarnya kau ini orang yang lembut,” ucap pria tersebut.
“Cih…lagipula ada urusan apa kau kesini?”
“Ayah memanggil kita ke kantornya, sepertinya kita punya kerjaan baru nih,” ucap pria tersebut.
Pria itu berjalan di depanku dan tiba-tiba membalikkan badannya.
“Alex apa gumamammu tadi itu benar?’ ucap pria tersebut.
“Hmm emangnya aku tadi bergumam apa?”
“Apa kau percaya mau sekeras apapun kita berusaha hal itu tak akan merubah masa depan kita?” ucao pria tersebut.
“Yusuf kita sudah mengenal cukup lama seharusnya kau tahu bagaimana pemikiranku dan iya aku percaya semua orang punya perannya di dunia ini jadi tentu saja kita tak bisa melawan hal itu.”
Yusuf nampak terdiam merespon ucapanku.
“Tapi itu semua tak penting, masa depan belum terjadi jadi lebih baik kita fokus di masa sekarang. Ayo ayah sudah menunggu kita.”
Kami berjalan menyelusuri bangunan yang setengah hancur ini. Banyak orang yang berpikir kalau dunia sudah damai, ya dunia ini sudah damai hanya tuk mereka yang berada di ibukota. Bagi kami kedamaian hanya fiksi karena kami hidup dari lawan kata kedamaian.
Di tengah gumamanku iu kamipun tiba di kantor ayah. Saat kami masuk kami melihat dua orang di dalam ruangan tersebut. Seorang wanita dan seorang bapak-bapak dan iya kami mengenali kedua orang itu.
“Yusuf, Alex akhirnya kalian datang juga,” ucap wanita tersebut.
“Tina, jadi apa tugas kami hari ini?”
Setelah aku bertanya seperti itu seorang pria yang duduk tepat di hadapan kami memutar kursinya ke arah kami. Meskipun umurnya sudah tua namun dari raut wajahnya masih nampak sebuah ketegasan dan karisma yang masih bisa memukau banyak orang. Pria tersebut tak lain tak bukan adalah ayah kami Kahlil Caine.
“Kita adalah broker, peran kita adalah untuk bekerja di balik layar mengontrol semuanya namun kondisi akhir-akhir harus memaksa kita untuk keluar dan memproklamirkan nama kita,” ucap Kahlil sembari menaruh kedua tangannya di dagunya.
“Iya aku sudah tahu, kau sudah memberitahunya berulang kali jadi langsung ke intinya saja. Apa misi yang harus kami lakukan sekarang?”
“Kalian sudah tahu kan kalau fraksi Raka adalah gangguan utama kita untuk meraih kemenangan,” ucap Kahlil sembari menyodorkan sebuah foto.
Di dalam foto tersebut nampak seseorang sedang menyerahkan sebuah uang dengan background sebuah tumpukan box. Foto ini nampaknya diambil di dalam sebuah pabrik namun aku tak terlalu tahu tempat pabrik ini.
“Apa yang baru saja kalian lihat bisa saja menjadi bukti yang kuat tentang partisipasi fraksi Raka terhadap pemberontakan yang terjadi di Al-Wehda. Maka dari itu walikota Karim meminta kita untuk menginvestigasinya,” ucap Kahlil.
“Apakah kau percaya dengan Karim? bagiku ini terlalu mencurigakan.”
“Karim dan aku lebih dari seorang rekan kerja, dia adalah saudaraku dan aku yakin dia tak akan mengkhianatiku,” balas Kahlil.
“Oke aku akan menerima hal itu.”
“Baiklah untuk lokasi dan informasi lebih lanjut akan dijelaskan oleh Tina. Alex, Yusuf aku mengandalkan kalian,” ucap Kahlil.
Aku dan Yusuf pun hanya mengangguk menerima tugas dari ayah kami.
Kamipun kembali ke kamar untuk bersiap-siap. Tak beberapa lama kemudian terdengar sebuah ketukan pintu. Ketika aku membukanya nampak ayah sedang berdiri tepat di depan kamarku.
“Ada yang ingin kubicarakan,” ucapnya.
Aku pun membiarkannya masuk.
“Hmm tempat ini gak banyak berubah, menurutku tempat ini butuh sedikit dekorasi,” ucap Kahlil.
“Kalau maksudmu dekorasi baru adalah reruntuhan maka aku harus menolaknya.”
“Sudah 15 tahun semenjak aku memungutmu kau sama sekali tak berubah, aku ingat ketika aku pertama kali memungutmu kau juga menunjukan raut wajah seperti sekarang.”
Aku hanya diam dan tetap menatap ayahku.
“Meski wajahmu nampak seperti tanpa emosi namun aku tahu kalau kau sangat peduli dengan adik-adikmu,” ucap Kahlil.
“Mending langsung ke point utama saja, aku harus bersiap-siap untuk misi darimu.”
Ayah beranjak dan berjalan ke meja kerjaku dan duduk di kursi sembari menatap ke arahku.
“Aku hanya ingin agar kau bisa lebih jujur dengan perasaanmu sehingga kau tak punya penyesalan di masa mendatang,” ucap Kahlil.
“Apa maksudmu?”
“Aku takut perang saudara ini sudah berlangsung cukup lama dan aku sudah kehilangan banyak anak-anakku. Tapi apakah kau tahu kenapa aku sangat takut? Karena akulah yang membawa mereka ke neraka dunia ini dan aku khawatir kalau kau adalah selanjutnya,” ucap Kahlil.
Akupun berjalan ke arahnya dan berlutut di hadapannya.
“Ayah kau ini adalah pemimpin jadi jangan pernah menunjukan wajah lemahmu lagi apalagi di depan publik dan aku berjanji aku dan Yusuf akan kembali dengan selamat, visimu tentang Al-Dhahab yang damai akan kupastikan terwujud.”
Mendengar jawabanku membuat ayah nampak sedikit lega meskipun tak bisa dipungkiri aku masih melihat kekhawatiran dari wajahnya.
“Huftt… baiklah aku percaya kalau begitu kau harus segera bersiap-siap oh dan sampaikan salamku untuk Yusuf juga,” ucap Kahlil.
Aku pun hanya mengangguk dan melihat ayah berjalan keluar dari kamarku namun sebelum keluar ia berbalik ke arahku.
“Oh aku lupa, aku bangga denganmu,” ucap Kahlil dengan senyuman.
Ia pun berjalan hingga akhirnya sosoknya mulai tak terlihat.
Beberapa Saat Kemudian…
Aku pun berjalan keluar dari kamarku sembari membawa ransel yang berisi perlatannya. Tiba-tiba Yusuf datang menghampirinya juga sembari membawa ransel.
“Oii Alex kau sudah siap?” tanya Yusuf.
Akupun hanya mengangguk dan kamipun berjalan ke kantor utama. Di sana kami sudah disambut oleh Tina.
“Hmm cuma kamu? Ayah dimana?”
“Dia baru saja pergi sepertinya dia akan bertemu dengan tuan Al-Khelaifi di timur,” balas Tina.
“Hmm padahal dia baru saja bicara denganku.”
“Dia ke kamarmu?” tanya Yusuf.
“Iya dan aku lupa, dia titip salam kepadamu.”
“Oke sekarang kembali ke bisnis,” ucap Tina sembari menyerahkan dokumen kepada Alex dan Yusuf.
“Misi kalian adalah untuk mencari tahu informasi tentang transakasi yang ada di foto ini, itu saja. Kalian tidak perlu sampai harus terlibat lebih jauh khususnya dirimu Yusuf,” lanjut Tina.
“Hmm kenapa denganku?” tanya Yusuf heran.
“Karena kau adalah orang yang paling mudah tersulut emosi.”
“Apa yang dikatakan oleh Alex adalah benar,” timpal Tina.
“Baiklah,” ucap Yusuf sembari menggerutu.
Setelah mendapatkan informasi dari Tina kami pun bersiap berangkat namun disaat kami akan berangkat tiba-tiba Tina merangkul Yusuf dari belakang dan membisikan sesuatu. Aku melihatnya setelah Tina berbisik ke telinga Yusuf untuk sepersekian detik raut wajahnya nampak sedih namun langsung berubah menjadi datar lagi. Sementara itu yusuf nampak tersenyum meskipun tak terpungkiri wajahnya kini memerah.
“Ada apa?”
“Bukan apa-apa, ayo kita berangkat dan segera menyelesaikan misi ini,” ucap Yusuf dengan semangat semabri berjalan mendahuluiku.
Sebagai seorang yang sudah lama tinggal di keluarga ini aku tahu dengan kondisi tiap anak di sini meskipun aku tak menunjukannya. Sejujurnya aku lega karena tak ada masalah diantara mereka berdua dan nampaknya mereka sudah mulai berani menunjukan ke publik. Aku jadi berpikir apakah ayah juga merasakan hal yang sama? Mungkin suatu hari nanti aku akan tahu jawabannya namun sekarang saatnya berfokus kepada misi kali ini.