Al-Tawoun adalah sebuah kota yang berada di pesisir pantai. Karena posisinya yang berada di pesisir pantai membuat kota ini menjadi tempat yang cocok untuk pusat perdagangan. Oleh sebab itu Fraksi Raka sangat ingin menguasai tempat ini.
“Jadi bagaimana kondisi di sana?” tanya Emilia yang nampak bosan dengan perjalanan yang lumayan jauh ini.
Aku yang awalnya fokus menyetir, melirik ke arah Emilia.
“Aku sudah lama gak kesana tapi ingatanku tentang tempat itu pasti selalu buruk.”
“Kenapa?” tanya Emilia.
“Tempat itu sudah menjadi rebutan antara pemerintah dan fraksi Raka, untungnya sudah sekitar 2 tahun pemerintah berhasil mengambil alih Al-Tawoun.”
“Hmm bagus dong,” balas Emilia.
Akupun menghela nafas panjang.
“Masalahnya 2 tahun terakhir konflik berfokus di pusat kota jadi Al-Tawoun terlupakan.”
“Kenapa itu jadi masalah?” tanya Emilia.
“Aku takut mereka berpikir kalau kami meninggalkan mereka selama 2 tahun belakangan ini, apalagi aku mendapatkan informasi kalau fraksi Raka membangun pos di sekitar Al-Tawoun.”
“Jadi kau takut kalau Al-Tawoun secara diam-diam sudah jatuh ke tangan fraksi Raka?” tanya Emilia.
Akupun hanya mengangguk setuju.
“Dan ini adalah respon dari ayah setelah aku memberitahunya dua bulan yang lalu.”
Mendengar jawabanku sepertinya membuat Emilia puas. Ia pun jadi diam dan melihat ke arah pinggir jalan menikmati pemandangan gurun pasir yang membentang sepanjang cakarawala. Sejujurnya aku lebih suka dengan dirinya yang seperti ini, akhirnya aku bisa merasakan kedamaian. Aku tak masalah jika orang yang berada di sekitarku banyak omong, aku sudah terbiasa dengan hal seperti itu namun dia berbeda ketika ia banyak bicara aku tahu kalau ia tak berusaha untuk tak berfokus tentang dirinya tapi ia berusaha untuk berfokus kepada lawan bicaranya. Itu bagus tapi kalau terlalu berlebihan ya itu sedikit mengganggu.
“Aww terimakasih aku tak tahu kalau kau berpikir seperti itu tentangku,” ucap Emilia.
Akupun yang sedari tadi melihat ke arah depan jalan kini terkejut dan melihat ke arah Emilia dengan shock. Ah sepertinya aku membicarakan apa yang kupikirkan lagi.
Tiba-tiba saja perjalanan menjadi sepi meskipun aku bisa melihat kalau Emilia terus saja tersenyum ke arahku. Tak beberapa lama kemudian kami sampai di Al-Tawoun.
Dulu aku mendengar dari ayah kalau Al-Tawoun merupakan kota yang sangat ramai karena kota ini adalah pusat perdagangan Al-Dhahab namun sekarang aku hanya melihat jalan dan rumah yang tak utuh. Tempat ini menjadi sangat sepi, aku sama sekali tak melihat orang berkeliaran.
“Hmm ini aneh sekali, dari penjelasanmu memang tempat ini tak terurus tapi seharusnya paling tidak masih ada orang yang keluar,” ucap Emilia nampak heran.
Apa yang dikatakan Emilia memang benar, meskipun tempat ini tak terurus tapi tempat ini bukanlah medan pertempuran jadi seharusnya kondisinya tak bakal seburuk ini.
Jalan yang dilewati oleh mobil kami terlihat sangat kosong namun saat aku berbelok tiba-tiba saja kami berhadapan dengan sebuah pos yang dibangun di tengah jalan. Akupun langsung menghentikan mobilku dan turun untuk mengamati pos tersebut, akupun melihat ke atas dan nampak seperti ada seseorang yang berjaga.
“Heii!!! apakah kamu warga sini? Kami dari….,” ucap Emilia.
Akupun langsung menutup mulut Emilia dan membuatnya terkejut.
“Ada yang aneh.”
Akupun melihat ke arah pintu gerbang pos tersebut nampak sebuah lambangyang sangat kukenal, yap lambang dari fraksi Raka. Tiba-tiba saja orang yang ada di atas berteriak seperti sedang memanggil pasukan lainnya.
“Oh sial sepertinya ini buruk,” ucap Emilia.
Akupun menaydari kalau situasi ini akan menjadi lebih buruk namun tiba-tiba aku mendengar suara siulan dari semak-semak samping jalan. Aku melihat nampak seorang remaja pria yang bersiul ke arah kami. Entah mengapa aku merasa kalau pria tersebut bukanlah musuh dan mau membantu kami lari. Akupun langsung meraih tangan Emilia dan mengajaknya lari.
“Hah lari!?? meninggalkan mobil kita?” tanya Emilia nampak panik.
Aku tak menghiraukan omongan dari Emilia dan menyeretnya ke arah semak-semak. Dibalik semak-semak tersebut nampak sebuah jalan dan remaja tersebut berlari lebih dulu di depan, kamipun mengikuti remaja tersebut.
Beberapa saat kemudian
Sepertinya kami sudah lari cukup jauh dari pos penjaga tersebut. Aku menoleh ke arah Emilia berusaha memastikan kalau dia baik-baik saja. Ia nampak terengah-engah namun aku tahu kalau dia baik-baik saja sementara itu remaja yang memandu kita nampak tak kelelahan sama sekali.
“Sepertinya kita sudah jauh dari pos penjaga dan kalian orang luar apakah gila? Seenak jidat datang ke medan pertempuran,” ucap remaja tersebut.
Sekarang setelah kondisi lebih aman aku mulai sempat remaja tersebut. Remaja tersebut berambut keriting, berkulit sawo matang, dari tingginya aku memperkirakan kalau dia sedang dalam masa pubertas jadi seharusnya lebih muda dariku dan komentarnya tentang kami membuatku berpikir kalau dia adalah warga lokal Al-Tawoun.
“Lambang yang ada di gerbang tadi adalah lambang fraksi Raka tapi bukankah seharusnya Al-Tawoun masih dalam naungan pemerintah?”
“Itu memang benar sampai orang-orang dari pemerintah itu meninggalkan kami, di saat itu pula fraksi Raka mulai masuk ke dalam kota,” balas remaja tersebut.
Oh sepertinya kekhawatiranku menjadi kenyataan dan kami telat.
“Jadi apa yang orang luar seperti kalian inginkan di Al-Tawoun,” ucap Remaja tersebut.
Benar juga aku belum memperkenalkan diriku dan wajar kalau dia nampak curiga.
“Hei aku Emilia dan pria serius ini Alex, siapa namamu?” ucap Emilia memecah kecanggungan.
“Aku Mahmoud, dengar aku gak tahu tujuan orang luar ke sini tapi di sini tidak aman untuk kalian. Kalian harus pergi,” ucap remaja yang bernama Mahmoud.
“Jadi fraksi Raka sudah menguasai tempat ini ya, terus bagaimana dengan warga?”
“Mereka semua ada di balik gerbang pos, aku gak tahu kondisi mereka,” balas Mahmoud.
“Hmm terus kenapa kamu ada di luar?” tanya Emilia.
“Ketika fraksi Raka datang mereka memberi pilihan kepada warga untuk mengikuti mereka atau tidak. Warga yang mau mengikuti mereka akan diperbolehkan masuk ke dalam pusat kota sedangkan yang menolak tidak diperbolehkan masuk. Tentu saja para warga yang merasau sudah diabaikan oleh kekaisaran lebih memilih bergabung dengan fraksi Raka,” balas Mahmoud.
“Jadi kenapa kau menolak mereka?”
Mahmoud yang sedari tadi berdiri kini ia duduk di atas batu.
“Karena aku tahu kalau mereka berbuat baik pasti ada maksud dibaliknya dan aku benci dengan cara mereka memanfaatkan warga,” ucap Mahmoud.
“Ohhhh jadi kau masih setia dengan kekaisaran, aku jadi terharu,” ucap Emilia.
Mahmoud mulai memandang ke arah Emilia, sepertinya ia menyadari sesuatu.
“Jangan-jangan kalian dari kekaisaran?” tanya Mahmoud.
“Dia yang dari kekaisaran aku bukan.”
Emilia menoleh ke arahku dan nampak cemberut. Mahmoud nampak menghela nafas.
“Hah ternyata pada akhirnya aku malah membantu penjajah lainnya,” ucap Mahmoud.
“Hmm apa maksudmu?” tanya Emilia.
“Biar kutebak dia menolak fraksi Raka bukan karena setia dengan kekaisaran namun ia berpikir kalau seharusnya Al-Tawoun bisa independen.”
Mahmoud menatap ke arahku dengan tatapan tajam.
“Itu benar dan aku menyesal sudah membantu kalian,” balas Mahmoud nampak marah sembari berdiri.
Mahmoud nampak akan pergi meninggalkan kami.
“Tunggu Mahmoud, percayalah kami tidak berniat untuk memanfaatkan kalian,” ucap Emilia.
Mahmoud berhenti dan berbalik ke arah kami.
“Oh begitu ya, apakah kau tahu betapa menderitanya kami karena perang yang bahkan tak menguntungkan kami? Dan sekarang ketika salah satu pihak menguasai kota kalian tiba-tiba muncul dan bilang tidak akan memanfaatkan kami? Omong kosong!!!” balas Mahmoud.
Dari nada bicaranya aku menyadari emosi yang meluap. Selain marah nampaknya Mahmoud juga sedang putus asa. Cih sepertinya hal ini tak akan berjalan baik. Di tengah overthinkingku itu aku menyadari kalau Emilia berjalan mendekat ke arah Mahmoud.
“Mahmoud aku minta maaf, memang aku tak mengalami penderitaan yang kamu rasakan namun sekarang aku di sini berusaha untuk membantumu dan kamu boleh tak percaya denganku tapi paling tidak beri aku kesempatan untuk membuktikannya,” ucap Emilia semabri memegang tangan Mahmoud.
Mahmoud kini nampak tertegun dan wajahnya sedikit memerah. Dari sini aku sadar sepertinya emosinya sudah berubah dan ini adalah celah yang baik untuk masuk.
“Dan itulah alasan kami datang ke sini, kami ke sini untuk membawakan bantuan dari kekaisaran namun sepertinya kalian baik-baik saja tanpa bantuan dari kami.”
Mahmoud kini sudah sadar kembali ia pun melihat ke arahku.
“Aku tak tahu soal itu, seperti yang kubilang tadi hanya orang yang membela fraksi Raka yang boleh masuk ke dalam dan aku tak tahu bagaimana kondisi di dalam,” ucap Mahmoud.
“Jadi biarkan kami membantu kalian,” ucap Emilia dengan senyuman manis nan lebar.
Mahmoud pun nampak ragu, sepertinya kebaikan dari Emilia berhasil menyentuh hari Mahmoud.
“Cih baiklah, aku akan membantu kalian,” ucap Mahmoud.
“Bagus jadi bisakah kau membantu kami untuk mendapatkan mobil kembali?”
“Sepertinya aku tahu kemana perginya mobil kalian dan mungkin aku bisa membantu kalian mendapatnya kembali,” balas Mahmoud.