Seorang pria dengan rambut kelabu menoleh pada pintu kamar yang seharusnya tertutup. Ia sedang menyiapkan makanan untuk belahan jiwanya yang sudah satu minggu ini melalaikan tugas dan kewajibannya. Ia memahami hal itu dan tidak memprotesnya sama sekali. Bukan hal mudah bagi wanita itu untuk kehilangan putri satu-satunya. Pun dirinya merasakan hal yang sama. Ia berusaha kuat dan tegar, meski hatinya sudah patah berkeping-keping. Jika ia ikut hancur, siapa yang akan menopang kekasih hatinya?
Rumah ini tidak sama lagi dengan sebelumnya. Suasana harmonis yang selalu ia rasakan setiap akan berangkat dan pulang bekerja kini berganti sunyi dan dingin. Tidak ada lagi celotehan riang dan perdebatan kecil yang ia dengar dari dua orang wanita yang dikasihinya. Hanya sunyi, dan sepi seperti tuli.
Sejak kebahagiaannya direnggut secara mendadak, wanita itu telah berubah menjadi orang yang berbeda. Tubuhnya yang ringkih kian rapuh karena menolak makan. Kulitnya pun mengering tanpa cairan yang akhirnya ia paksakan untuk masuk walau sedikit. Sapaan hangat dan obrolan kecil yang biasa terjadi di meja makan, kini menghilang.
Kekasihnya itu sekarang lebih suka berdiam diri dan menangis. Entah sudah berapa banyak air mata telah ia paksa keluar dari matanya hingga tidak bisa menangis lagi. Dari bibirnya yang kering, berkali-kali terucap nama putrinya yang sudah tiada.
Pria itu membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air ke dalam kamar. Di depan pintu kamar, ia mendapati pemandangan yang sama setiap hari. Wanita itu akan duduk di sana sepanjang hari. Matanya menatap kosong pada jendela dengan pepohonan di luar. Siapapun yang melihat akan mengira ia adalah patung. Gerakan pelan dari bahunya yang menandakan dia masih bernapas.
Wanita itu tidak menyadari seseorang masuk ke kamar dan meletakkan nampan di atas meja. Sebuah tepukan pelan di bahu membuatnya menoleh. Menatap kosong pada mata sedih di hadapannya.
“Makan dulu, Ma…,” kata pria itu pelan. Ia menyendok bubur dan menyuapkan pada istrinya yang menggeleng. “Kamu harus makan, Ma. Nanti kamu bisa sakit.”
“Waktu itu….” Bibir wanita itu bergetar. “Apakah dia sudah makan?” Ia menoleh pada suaminya.
Sang suami meletakkan sendok kembali pada mangkuk.
“Sofia. Apa waktu itu dia sudah makan?” ulang sang istri. “Aku kepikiran. Terakhir dia makan, waktu sarapan.”
Pria itu tidak menjawab. Air matanya menetes. “Sudah. Aku yakin Sofia sudah makan. Saat istirahat dia pasti membeli kue kesukaannya di kantin,” jawabnya sambil menahan air mata yang berdesakan ingin tumpah.
“Waku itu hampir tengah malam. Apa mereka sedang berkencan dan makan?”
Suaminya tak mampu menjawab lagi.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa harus Sofia-ku? Sofia-ku yang malang!” Wanita itu mulai terisak. Bahunya terguncang.
“Ma….” Laki-laki itu mencoba menghiburnya.
“Ini semua gara-gara anak itu! Dia yang membunuh anakku! Sampai kapan pun aku tidak akan memaafkannya!” Lagi-lagi kalimat itu terucap dari bibir kering wanita yang telah kehilangan semangatnya itu. Ia menatap nanar pada foto Sofia di atas meja. Sementara suaminya tampak putus asa, berusaha menenangkan dengan mengelus-elus punggung sang istri.