Kesempatan Hidup (lagi)

Lirin Kartini
Chapter #9

BAB. 9 - MAAF YANG TERTUNDA

Archie yang tidak kasat mata oleh Calvin mengangguk pada Sofia

“Baiklah.” Sofia menjawab pertanyaan Calvin.

Laki-laki itu sendiri tampak ragu dengan keputusannya yang tiba-tiba. Namun, ia bertekad untuk melakukannya. Ini demi kebaikan semua pihak. Terutama Sofia. Ia tak ingin gadis itu tidak bisa pergi dengan tenang, jika tahu apa yang terjadi.

“Ayo, kita pergi sekarang.” Calvin menggenggam tangan Sofia dan mengajaknya menuju halte bus.

Calvin dan Sofia duduk di bangku bus sambil berpegangan tangan. Sementara Archie duduk di kursi belakang mereka yang kosong.

“Rasanya masih sangat mustahil hal semacam ini bisa terjadi.” Calvin membuka percakapan.

Sofia mengangguk. “Sama. Aku pun masih sulit percaya. Tapi, ternyata memang bisa terjadi.”

“Aku sangat merindukanmu, Sof,” kata Calvin. Tatapan yang ia berikan pada gadis di sampingnya menunjukkan semua emosi yang terpendam selama ini.

“Aku juga.” Sofia menyandarkan kepala pada bahu Calvin. Ia tidak ingin saat-saat ini akan cepat berlalu. Ia ingin berada di sisi Calvin selamanya. Namun, itu tidak mungkin terjadi. Ia sudah meninggal. Kematiannya sudah tercatat. Bahkan makamnya pun sudah tertutup.

Dalam perjalanan ke rumah Sofia, mereka saling bercerita dan melepas rindu. Mengingat-ingat kembali kebersamaan mereka. Mengenang apa yang mereka lakukan selama dua tahun berpacaran. Hal-hal apa saja yang mereka sukai dan tidak disukai.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Calvin setelah mereka turun dari bus. Mereka menyusuri jalan setapak dan melewati taman pertemuan mereka.

“Ah, aku tidak apa-apa,” jawab Sofia. Jarinya menghapus butir air mata yang menetes di pipinya. Rupanya Calvin telah melihatnya, karena itu ia semakin mengeratkan genggaman tangannya.

“Sudah sampai.”

Mereka sudah sampai di halaman rumah Sofia. Dengan hati berdebar, Sofia melangkah perlahan memasuki halaman berumput itu.

Sebentar lagi ia akan meninggalkan tempat ini selamanya. Perasaan Sofia jadi tak menentu. Sekali lagi ia menguatkan diri akan tujuannya kembali ke sini.

Tangan gemetar Sofia memutar kenop pintu dan membukanya. Di sana, di ruang makan, duduk dua orang yang dikasihinya. Kedua orang tuanya sudah menunggu kedatangannya. Samar-samar hidungnya menangkap aroma masakan favoritnya.

Kedua orang tua itu berdiri. Sang ibu telah berlari memeluk putri kesayangannya dan menangis sejadi-jadinya. Sang ayah perlahan juga memeluk keduanya dengan haru.

“Sofia! Sofia! Ini benar kamu, Nak?” Air mata yang bercucuran dari mata lelah sang ibu membuat Sofia ikut menangis. Untuk sedetik pun dalam hidupnya, ia tak pernah meninggalkan mereka selama ini.

“Iya, Ma, Pa, ini Sofia.” Sofia menjawab sambil menahan air matanya mengalir lebih deras lagi.

“Papa tahu.” Pria itu mengangguk-angguk senang dengan mata berkaca-kaca.

Lihat selengkapnya