Kesempatan Hidup (lagi)

Lirin Kartini
Chapter #14

BAB. 14 - Harapan

Bunyi sirene yang meraung di pelataran rumah sakit, membuat semua petugas medis bergegas keluar. Empat buah brankar yang turun dari ambulans segera dibawa ke ruang gawat darurat dengan mengecek kondisi awal tiap korban.

“Nindi! Panggil Dokter Ary! Kita kekurangan orang!” teriak seorang perawat yang menangani salah satu korban kecelakaan itu.

Nindi segera berlari mencari dokter tersebut dan menemukannya di resepsionis. “Dok! Ada pasien kecelakaan!” Nindi berkata dengan terengah-engah. “Satu keluarga masuk jurang. Lukanya cukup parah!” lanjutnya.

Ary segera meletakkan catatan di meja resepsionis lalu berlari ke ruang gawat darurat. Kesibukan tampak di dalam ruangan itu. Semua petugas berusaha melakukan penanganan yang dibutuhkan. Ary segera memeriksa kondisi vital mereka bersama Nindi, rekan kerja sekaligus istrinya.

Setelah beberapa jam melakukan pertolongan, kegaduhan di ruangan itu mereda. Wajah mereka terlihat lelah dan lesu. Satu per satu petugas membereskan peralatan mereka. Tiga jasad yang bersebelahan itu sudah tertutup kain putih hingga ke wajah. Seorang lagi telah dipindahkan ke ruangan lain untuk perawatan intensif.

Ary terduduk lelah di ruangannya. Usahanya gagal untuk menyelamatkan keluarga itu. Ia memahami, hidup-mati manusia bukanlah kuasanya. Namun, sebisa mungkin ia berusaha memberi kesempatan hidup lebih lama pada pasien-pasiennya. Walau ini bukan pertama kalinya ia gagal menyelamatkan nyawa seseorang, tetap saja rasanya menyesakkan.

Pintu ruangan Ary terbuka setelah tiga kali ketukan. Nindi masuk dan menghampirinya. Wajahnya juga tampak lelah.

Ary mendongak. “Bagaimana anak itu?”

Nindi menggeleng dan duduk di kursi di seberang Ary. “Masih belum ada perubahan yang berarti.”

Wajah lelaki di depan Nindi tampak frustrasi. Beberapa kali ia berdecak kesal dan tangannya mengepal kuat. Wanita itu tahu, bahwa sang suami merasa gagal dalam pekerjaannya. Dari empat nyawa itu, hanya satu yang sedang koma. Entah ia akan tetap hidup atau mengikuti keluarganya, Nindi tidak tahu. Namun, ia sangat berharap anak itu bisa selamat.

Perawat itu menggenggam tangan yang masih mengepal dan bergetar hebat. Seolah tersadar, Ary menoleh, lalu mengembuskan napas panjang.

“Ini bukan salahmu. Kamu sudah berusaha,” kata Nindi berusaha menenangkannya. Ary mengangguk dan membalas genggaman itu.

Lihat selengkapnya