KESEMPATAN KEDUA 1
"Si4l, kesiangan!" umpat Almira.
Pagi itu burung gereja berkicau dengan merdunya. Mentari menerobos melalui celah-celah jendela kaca. Gadis berusia 21 tahun itu tengah keluar dengan tergesa dari kamar mandinya. Sebuah handuk lebar berwarna biru muda masih melilit tubuh rampingnya. Rambut hitamnya yang panjang itu digulung ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya. Kulit putih, mata hitam yang sebening kristal, hidung yang tidak terlalu tinggi serta bibir mungil itu terlihat sangat mempesona.
Almira Adinata menyerobot sebuah dress putih selutut dari lemari dengan tergesa. Lalu dia merapikan rambutnya menyerupai kuncir kuda dan memberi sedikit polesan pada wajah cantiknya. Make up sederhana itu membuat wajah lembutnya terlihat lebih segar dan natural.
"Oke, semoga kakek tidak menunggu lama," gumamnya. Dia memakai sepatu santainya dan buru-buru keluar dari apartemen setelah mengunci pintu.
Beberapa menit lalu seorang lelaki paruh baya menelponnya, mengatakan jika beliau telah menunggu di restoran favorit yang biasa mereka datangi.
"Aku akan menunggu. Jika kamu tidak datang, sopir akan menjemputmu," titahnya, tak menerima penolakan. Dan inilah yang akhirnya terjadi, dia sudah seperti dikejar-kejar deadline. Pada awalnya Almira berpikir ingin bermalas-malasan saja, karena ini akhir pekan dan dia tidak bekerja. Demi lelaki tua yang baik hati itu, akhirnya dia mengurungkan niatnya.
Jam di tangan sudah menunjuk pada pukul 08.15, ketika dia turun dari taksi. Dia pun bergegas pergi setelah membayar taksi. Gadis cantik itu berlari kecil menuju ke dalam sebuah ruangan pribadi. Tak ada yang menghentikannya, karena karyawan di sana hampir semua mengenalnya.
Bruukk!
"Auuh ...." Almira menggosok hidungnya yang terasa sakit karena menabrak sesuatu yang keras.
"Apa kamu tidak punya mata!" Suara marah seorang pria membuat Almira tersadar. Dia mendongak, menatap pria itu dengan cemberut. Ternyata Dia tak sengaja menabrak seorang pria tampan berkulit putih, dengan tubuhnya yang tinggi dan atletis. Sayangnya, orang ini tidak bisa tersenyum.
"Tentu saja aku punya mata. Kalau tidak, bagaimana aku bisa sampai di sini?" protesnya.
"Orang bersalah itu minta maaf. Bukan ngomel," geram pria itu.
Almira menyengir. "Tuan, maaf saya tidak sengaja menabrak anda. Saya sedang terburu-buru. Kakek saya sudah menunggu," ucapnya.
"Ya, walaupun belum tentu saya yang bersalah. Orang bilang memaafkan itu ibadah," imbuh Almira masih tak terima.
Pria itu mendengus. Memang benar jika dirinya juga terburu-buru. Jadi, dia memilih untuk tidak lagi mempermasalahkannya. Melihat pria itu terdiam, Almira mengambil kesempatan untuk pergi.
"Baiklah, aku harus pergi."
Tanpa menunggu respon dari pria tersebut, Almira pun dengan santai meninggalkannya.