Menjelang Ramadan, biasanya aku selalu diajak Umak untuk berziarah. Kami membersihkan makam ayah dan ompung dari rumput liar, lalu membaca Surah Yasin, juga berdoa agar mereka di tempatkan di tempat yang baik di sisi Allah.
Setelah Umak meninggal dua tahun yang lalu, aku terus melanjutkan kebiasaan itu. Menjelang Ramadan, aku berziarah bersama Akbar dan Asma, adikku. Kami membersihkan makan Ayah, Umak, dan juga Ompung.
Naposo Nauli Bulung yang bergotong royong membersihkan area pemakaman sangat membantu. Perkumpulan pemuda dan pemudi kampung kami itu selalu mengadakan gotong royong menjelang Ramadan. Akan tetapi, karena area pemakaman yang luas, mereka hanya membersihkan titik pemakaman yang dianggap terlalu semak. Anggota keluarga masing-masinglah yang harus membersihkan setiap makam dari rumput liar dan dedaunan kering.
“Bang, naonan dipaias?” Asma bertanya padaku apakah makam yang ditunjuknya perlu dibersihkan.
Aku menggeleng. Mataku seketika memerah. Kutatap nama Ahmad Harapan di batu nisan makam itu. Tanganku yang memegang sabit bergetar. Sampai detik ini, aku belum bisa memaafkan manusia yang dikubur di bawah sana.
Namanya Ahmad Harapan Harahap. Abangku yang paling aku banggakan sebelum dia meninggalkan kami. Dulu, aku sangat menyayanginya. Bang Apan, begitu aku memanggilnya.
Bang Apan sangat berbeda dengan pemuda kampung seumurannya. Kebanyakan pemuda di kampung kami menghabiskan waktu dengan nongkrong di lopo kopi. Ada juga yang berjudi di bawah pepohonan di dekat sungai. Mereka menghabiskan uang dari mamundak dengan hal-hal yang menurutku tidak bermanfaat.
Bang Apan beberapa kali ikut mamundak sejak SMA. Sekarung gabah dengan mudah diangkatnya ke pundak, lalu dibawanya dari tengah persawahan yang baru panen ke pinggir jalan untuk diangkut toke. Uang yang didapatnya dari mamundak itu dimasukkan ke celengan ayam. Waktu aku bertanya untuk apa uang itu nanti, dia tidak pernah menjawab.
Pernah aku juga mencoba untuk mengangkut sekarung gabah saat sawah kami panen. Aku ingin sekuat Bang Apan. Akan tetapi, setengah karung saja sudah membuatku kakiku bergetar ketika sampai di pinggir jalan. Aku pun mengangkat tangan, menyerah. Bang Apan yang melihatku tertawa puas, lalu memintaku untuk duduk saja sementara dia lanjut.
Aku duduk di pinggir tumpukan karung gabah yang diangkut Bang Apan. Mataku berbinar menatapnya. Ayah sudah meninggal saat Asma berusia satu tahun. Ayah jatuh sakit setelah sehari sebelumnya kehujanan di kebun. Setelah Ayah pergi, Bang Apan menggantikan sosok Ayah di mataku. Dia adalah tempatku mengadu ketika ada teman-temanku yang nakal.
Semua perlahan berubah ketika Bang Apan meminta izin pada Umak untuk pamit ke Jakarta. Bang Apan akan pergi meninggalkan kami. Umak yang merasa dirinya tidak akan sanggup merawatku, Asma, dan Akbar meminta Bang Apan untuk mengurungkan niat itu. Jakarta terlalu jauh. Kalau Bang Apan sakit, kami tidak akan bisa menjenguknya. Lagi pula, ongkos ke Jakarta sangat mahal. Umak tidak punya uang sebanyak itu.
“Adong Umak celenganku. Mahutabung do ongkosku.” Bang Apan menunjukkan celengan ayamnya. Saat itulah aku baru tahu kalau Bang Apan sudah mempersiapkan ini sejak lama. Dia sudah menabung untuk ongkos ke Jakarta.
“Tulangmu si Monang namangajak ko?” Dengan mata membelalak, Umak menuding Tulang Monang yang mempengaruhi Bang Apan untuk pergi.
Tulang Monang tinggal di Jakarta sejak dia belum menikah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia membuka warung. Aku dengar, warungnya cukup ramai. Tidak heran karena Tulang Monang memang terkenal sosok yang ramah.
Sayangnya, Tulang Monang tidak dikaruniai dengan keturunan. Kata Umak, waktu aku lahir, Tulang Monang sempat memohon pada Umak. Tulang Monang ingin mengangkatku menjadi anaknya. Umak menolak permintaan itu karena masih sanggup untuk merawatku. Bukan hanya aku saja, waktu Akbar dan Asma lahir, Tulang Monang kembali memohon. Umak tetap bersikukuh tidak memberikan salah satu dari adikku.