Topik yang sama tidak pernah jeda, menguras energi ke dua sahabat ini.
“Putri, kenapa sih kamu masih bertahan dengan Andi?”
Seperti biasa Putri hanya diam, tak acuh.
“Aku bilang begini, karena aku sayang sama kamu Put, aku tidak mungkin melihat sahabatku diperlakukan seperti ini,” lanjut Aisyah.
“Jawabanku selalu masih sama Aisyah, tidak pernah berubah. Aku masih sangat menyayangi Andi, meninggalkan dia saat ini, adalah hal yang tidak mungkin.”
“Apa kamu tidak bisa berpikir realistis, Andi sudah mengkhianati kamu dua kali. Pertama dia selingkuh dengan teman SMA-nya, kedua dengan teman kantornya. Aku tidak tahu, mengapa kamu tidak bisa melihat kenyataan itu?”
“Aku yakin Andi masih sangat mencintaiku, Syah. Bukankah terkadang sesuatu tidak bisa dilihat dengan mata, namun dengan hati?”
“Aku sangat peduli padamu, aku tidak ingin melihatmu diperlakukan seperti itu, lagi dan lagi!”
“Kamu tidak usah terlalu khawatir. Aku yakin, walaupun Andi bersikap seperti itu, tetapi hatinya tetap milikku.”
Kalimat-kalimat omong kosong bagi Aisyah. Menurutnya, mana ada bukti cinta dalam perselingkuhan. Putri benar-benar telah dibutakan oleh cintanya.
“Jadi kamu akan terima saja, kalau Andi selingkuh lagi?”
“Aku yakin, Andi tidak akan mengulanginya lagi. Aku yakin dia sudah berubah.”
“Berubah? Apa mungkin?”
“Semua orang bisa berubah, demikian juga dengan Andi. Maafkan aku Aisyah, inilah keyakinanku. Aku percaya, bahwa setiap orang, berhak mendapatkan kesempatan, berubah menjadi lebih baik.”
Jawaban yang sama dari Putri. Yang kian membuat Aisyah kehilangan kata. Seluruh nasihat tidak ada lagi artinya.
***
Suasana malam ini, terasa berbeda. Aisyah dan Rumi bercengkrama di depan TV. Sebulan ini, Aisyah dan Rumi kehilangan waktu bersama. Kesibukan Aisyah di kampus dan Rumi di kantor, membuat mereka tak punya banyak waktu untuk sekadar ngobrol.
“Aisyah,” sapa Rumi, mendekati adiknya yang sedang serius menonton TV. “Iya, Kak.”
“Bagaimana kabar Putri?”
“Baik Kak.”
“Sudah lama ya, dia enggak main ke sini?”
“Dia lagi sibuk, Kak.”
“Oh, dia juga lagi menyusun skripsi, ya?”
“Lagi sibuk mengurus cowok!” jawab Aisyah, jengkel. “Cowok?”
“Iya, dia kan lagi jatuh cinta berat. Jadinya enggak ada yang lebih indah dari mengurusi pacarnya!”
“Terus, skripsinya bagaimana?”
“Dia belum skripsi, Kak. Banyak mata kuliahnya yang enggak lulus.”
“Kok bisa begitu? Bukannya kalian selalu bersama di kampus? Satu jurusan, satu kelas. Kok bisa, dia enggak lulus, sedangkan kamu sudah skripsi?”
“Ya begitu, Kak. Sejak kenal dengan cinta, dia tidak lagi fokus dengan kuliahnya.”
“Kasihan, ya.”
“Mungkin, karena dia enggak punya tujuan lagi Kak, enggak punya impian.”
“Tetapi, kasihan, Dik. Kamu coba bantu dia.”
“Aku sudah bosan Kak selalu mengingatkan dia. Mungkin begitu rasanya, kalau bicara ke seseorang yang lagi jatuh cinta. Enggak ada yang mau dia bahas, selain cowoknya itu. Jadinya malas banget ketemu dia!”
“Tetapi, kan, sebagai teman yang baik, kamu harus ada buat Putri. Kamu pernah bilang, kamulah satu-satunya teman Putri di kampus. Kasihan kalau kamu biarkan dia seperti itu.”
“Tetapi, bagaimana, aku bingung bagaimana caranya lagi menyadarkan dia.”