“Tante Maya itu punya anak laki-laki, sudah dewasa dan mapan. Tante Maya berniat menjodohkannya dengan Aisyah.”
Hening!
Aisyah dan Rumi saling bertatapan, kaget.
“Kok aku? Kenapa bukan Kak Rumi? Ayah ini apa enggak salah? Aku belum selesai kuliah, aku yang adik! Kok bukan Kak Rumi saja yang dijodohkan? Kak Rumi kan, juga sudah dewasa sedangkan aku belum!”
Aisyah tidak percaya ucapan Ayahnya. Kalimat pembelaannya, tiba-tiba terucap begitu deras.
“Tetapi mereka maunya dengan Aisyah,” sambung Ibu, mencoba menjelaskan.
“Bagaimana sih, Yah? Kok Ayah enggak bisa memberikan pendapat sedikit? Sampaikan dong ke mereka, Aisyah itu masih kecil. Ayah punya anak tertua, lebih dewasa. Jadi lebih baik Kak Rumi saja!”
Aisyah terus mencari alasan, untuk menolak permintaan ayah dan ibunya. Dia merasa tidak masuk akal, terjadi perjodohan seperti ini, sedangkan kuliahnya saja belum selesai, belum kerja, belum ini itu.
“Ayah dan Ibu, enggak memaksa kok, Aisyah. Kalau kamu enggak mau ya enggak masalah. Mereka juga baru mengajukan keinginannya. Kamu punya hak menerima ataupun menolak. Ayah dan Ibu enggak akan memaksa kamu,” jawab Ayah, bijak.
“Aku heran, sebenarnya kenapa mereka enggak melamar kak Rumi saja, kenapa harus Aisyah?!” sambung Aisyah.
“Mereka bilang, kak Rumi-mu terlalu dewasa,” jelas Ibu.
Aisyah mengangkat alis. Terkejut dengan jawaban Ibunya. “Lho, kok terlalu dewasa? Bukannya, anak tante Maya juga sudah dewasa? Atau mungkin mereka takut, kalau dengan kak Rumi yang sudah dewasa, makanya mencari seperti aku yang belum punya apa-apa. Sehingga bisa seenaknya diperlakukan, diatur. Begitukah, Yah?!”
“Kamu tidak usah berpikir sejauh itu. Kalau kamu memang enggak mau ya enggak usah. Tetapi sebenarnya Ayah dan Ibu, juga, sudah berharap ada di antara kamu dan kakakmu yang menikah. Ayah dan Ibu sudah tua, ingin juga gendong cucu,” sahut ayah.
“Kok aku sih yang Ayah desak? Kenapa enggak bicara dengan kak Rumi? Kak Rumi itu lebih pantas dan lebih siap untuk menikah, Yah. Aku tidak akan menikah sebelum mapan dan sebelum kak Rumi menikah!”
Aisyah terus membela dirinya, sedangkan Rumi hanya diam, menyimak apa yang dibicarakan kedua orang tuanya. Dia hanya sesekali tersenyum setiap mendengar jawaban adiknya.
“Ayah hanya berharap, kamu atau kakakmu segera menikah. Itu saja!” ujar ayah, masih dengan harapannya.
“Ayah itu beraninya sama Aisyah, kenapa enggak berani sama kak Rumi? Kalau begini, aku akan seperti kak Rumi, bisa merancang masa depannya sendiri!” Suasana hati Aisyah semakin buruk, dengan pembahasan perjodohan ini.
“Yah,” sela Rumi.
“Kalau menurut Rumi, ada baiknya Aisyah menyelesaikan dulu kuliahnya. Sedikit lagi, dia akan selesai kok, Yah. Kasihan, kalau dia harus mengubur impiannya. Apa pun yang Aisyah dan Rumi lakukan, tiada lain dan tiada bukan hanya untuk Ayah dan Ibu,” tutur Rumi, sangat lembut.
“Yah, Aisyah juga mau bilang, menikah itu bukan satu-satunya cara membuat Ayah dan Ibu bangga. Okelah kalau Aisyah dan kak Rumi menikah dan bertemu dengan pria yang baik dan bertanggung jawab.
“Tetapi tiba-tiba takdir berubah arah, Ayah dan Ibu juga yang akan terseret dalam kesedihan. Izinkan Aisyah dan kak Rumi menata masa depan kami sebaik mungkin, Yah. Ayah kan sangat paham tentang jodoh. Biarkan dia datang sesuatu waktunya, biarkan dia datang sendiri,” ungkap Aisyah, jelas.
“Ya, jika sudah memang seperti itu keputusan kalian berdua, Ibu dan Ayah mau bagaimana? Intinya, doa Ayah dan Ibu akan selalu menyertai Aisyah dan Rumi.” Ayah tampak menyerah setelah mendengar penjelasan kedua putrinya.
“Lakukan yang terbaik untuk kehidupan kalian, Nak. Ibu dan Ayah hanya ingin kalian sukses dan bahagia.” Ibu menambahkan.
Aisyah lega, akhirnya bisa mengatakan tidak. Pun, ayah ibunya bisa menerima alasannya. Aisyah bersyukur memiliki kedua orang tua yang sangat memahami anak-anaknya. Mereka begitu paham dan mengerti, orientasi kehidupan kedua anaknya.
Malam yang berat akhirnya terlewati.
Perjalanan hidup selalu saja tidak bisa ditebak. Aisyah yang baru mempersiapkan diri, menyambut garis akhir perkuliahannya, tiba-tiba dihadang oleh kata pernikahan. Itulah kenyataan hidup, yang multak akan hadir di waktu tidak terduga.
***
Setelah beberapa pekan tak bertemu dengan Aisyah, Putri mendatangi kediaman sahabatnya itu.
Ya seperti biasa, dia akan mencari Aisyah, saat dia punya masalah dan butuh pendengar. Karena pendengar sejatinya itu adalah Aisyah. Walaupun kadang tak sejalan, Putri selalu merasa nyaman bersama Aisyah.
“Syah, ada seorang wanita mengajakku bertemu di taman sore ini,” ucap Putri.
“Wanita? Siapa?”
“Aku juga enggak tahu, katanya dia ingin menyelamatkan masa depanku.”
Aku yakin ini tentang Andi, batin Aisyah.
“Iya kamu ke sana saja Put, siapa tahu dia punya informasi penting.”
“Tetapi kamu ikut ya? Aku takut sendiri.”
“Pasti! Aku akan menemanimu.”
Putri tampak tidak seperti biasa, dia terlihat banyak beban.
“Put, kamu enggak apa-apa?” tanya Aisyah, memastikan keadaan Putri.
“Iya, aku baik,” jawabnya lemah. Dia kelihatan sedang memikirkan hal berat, dia sangat tidak bersemangat.