Air mata Putri kembali mengalir.
Betapa rasa syukur itu hadir, dia memiliki seorang sahabat, yang selalu ada untuknya. Sahabat yang selalu dia lawan, sahabat yang selalu dia abaikan nasihatnya, dia sangat menyesal. Dia banyak menghabiskan waktu yang sia-sia dan sering menyakiti hati Aisyah.
“Aku senang bisa berbuat lebih untukmu, Put. Kita kan sahabat, sudah selayaknya selalu saling mendukung.”
Aisyah memberi pelukan penuh kasih sayang.
Putri yang selalu dimanja, terbiasa bebas, akhirnya tiba pada masa, di mana kedewasaannya diuji.
Setelah beberapa hari di rawat, akhirnya Putri diizinkan meninggalkan rumah sakit. Bersama sisa kekuatan dan ketegaran, dia mencoba melangkah. Aisyah turut mengantarnya pulang, bersama ayah dan ibunya.
Namun, tiba di rumah, sosok yang paling tidak diinginkan Putri, berdiri tepat di depan gerbang. Tanpa sepatah kata pun, Putri langsung turun dan menemui pria itu.
“Putri, kamu hati-hati. Kamu belum sepenuhnya pulih,” ucap Aisyah, sambil memegang tubuh Putri, yang masih lemah.
“Untuk apa kamu ke sini?!” tanya Putri, sangat emosi.
“Aku datang menjengukmu, Sayang. Aku dengar kamu masuk rumah sakit. Terus mengapa kamu membatalkan pernikahan kita? Aku perlu tahu alasannya. Aku sangat mencintaimu.”
Wajah Andi yang penuh drama, semakin membuat amarah Putri tersulut.
“Laki-laki berengsek!!!” Putri melemparkan sepatu yang dikenakannya ke arah Andi.
“Ada apa ini, kamu kenapa?” tanya Andi, sambil menghindar dari lemparan sepatu Putri. Ternyata Andi belum mengetahui pertemuan Putri dan Rosa. Aisyah tak sempat berkata-kata, karena Putri tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.
“Kamu pergi sekarang. Sekarang!!!” teriak Putri.
“Oke, aku pergi sekarang. Nanti aku datang lagi kalau kamu sudah tenang, ya.”
“Pergi!!! Aku tidak mau melihat muka brengsek-mu lagi!”
Andi pun berlari kecil, menuju mobilnya dan berlalu.
Tangis Putri pecah. Dia benar-benar menyesali seluruh perjalanannya.
“Putri, kamu tenang ya. Kamu baru pulih lho, belum sepenuhnya sehat. Kalau kamu begini, nanti kamu malah tambah sakit.”
Aisyah membantu Putri menuju kamarnya.
“Putri, kamu sudah di rumah sekarang. Jadi aku mohon, jangan lakukan hal-hal yang merugikan dirimu sendiri.”
“Terima kasih, ya. Aku tadi, tak mampu mengendalikan emosi. Aku tak mampu lagi melihat wajah laki-laki berengsek itu!”
Putri menghela napas, menenangkan sesak di hatinya yang tak kunjung bersahabat.
“Sabar Put ya. InsyaaAllah, setelah ini keadaanmu akan lebih baik. Kamu istirahat ya, aku balik dulu.”
“Salam aku untuk Kak Rumi.”
“Oke, kamu istirahat.”
Aisyah pun meninggalkan kamar Putri.
“Tante, Om, Aisyah pamit,” tutur Aisyah, pada orang tua Putri.
“Terima kasih ya Aisyah, sudah banyak membantu Putri.”
“Sama-sama, Om. Kami sudah lama bersahabat, jadi sudah seharusnya saya selalu ada untuk Putri.”
“Aisyah hati-hati, ya.”
“Terima kasih, Om.”
Aisyah meninggalkan rumah Putri, mengggunakan taksi.
Ya, beberapa hari ini dia sangat lelah. Belum tuntas persiapan ujian sidangnya, energinya terkuras mengurusi Putri di rumah sakit.
Ya Allah semoga lelahku ini, menjadi berkah buatku dan keluargaku, Aamiin Allahumma Aamiin.
Tiba di rumah, dia langsung berbaring di sofa. Dia seakan kehilangan kekuatan menuju kamarnya.
“Bagaimana kabar Putri, Syah?” ucap Rumi, mendapati adiknya di ruang tamu.
“Alhamdulillah sudah lebih baik, Kak.”
“Kenapa dia sampai pingsan begitu?”
“Ya, masalah Andi!”
“Calon suaminya, kan?”
“Iya, Kak. Putri syok setelah bertemu dengan pacar Andi yang sedang hamil.”
“Astagfirullah, dia punya pacar dan hamil?”
“Ya, itu Kak kelakuannya. Sejak awal, memang aku sudah tidak setuju, tetapi ya itulah Putri.”
“Jadi, Putri sudah kembali ke rumah?”
“Iya Kak, sore tadi sudah dijemput orang tuanya.”