Pertama kalinya, Aisyah masuk ke dalam rumah tetangganya itu.
Rumah besar namun terasa sangat sunyi.
Setahun bertetangga dengan Mira, Aisyah hanya banyak ngobrol di halaman dan sesekali masak bersama, di rumah mereka.
“Kak Mira mau cerita yang sebenarnya, supaya kamu dan Rumi bisa tahu kehidupan Kakak yang sebenarnya. Enggak enak juga rasanya, menyembunyikan kebenaran terlalu lama, jadinya sesak sendiri.”
“Iya Kak, saya siap menjadi pendengar,” jawab Aisyah, sangat bersemangat.
“Kak Mira sudah resmi berpisah empat bulan yang lalu Dik, setelah pisah rumah selama setahun.”
“Berpisah? Bukannya Kak Mira sudah menikah sepuluh tahun, kenapa bisa sampai pisah Kak?” tanya Aisyah, terkejut.
“Ceritanya panjang, Dik. Kalau Aisyah mau dengar, Kak Mira akan cerita.”
“Iya Kak. Aisyah bahagia sekali, jika Kak Mira mau berbagi. Pasti akan jadi pelajaran berharga untukku, Kak.”
Mira lantas memulai ceritanya.
Persoalan rumah tangganya, campur tangan orang tua suaminya, adalah kenyataan terpahit yang membuat pernikahan mereka berakhir.
“Kami menikah hampir sebelas tahun. Selama itu, keluarga kami sangat hangat dan bahagia. Dia suami yang luar biasa dan sangat menyayangiku sebagai istrinya. Tidak ada masalah yang tidak bisa kami bicarakan, semuanya bisa kami lalui dengan baik.
“Kami menikah saat usia kami masih terbilang muda. Usia Kak Mira dua puluh dua tahun, sedangkan dia dua puluh lima tahun. Waktu terasa singkat selama sepuluh tahun ini. Keluarganya, pun, sangat menghargaiku, dan memperlakukanku seperti anaknya sendiri.”
Mira menghela napas.
Tampak bulir-bulir bening, mulai hadir di ujung matanya.
“Tetapi, benarlah bahwa kehidupan tak ada yang sempurna. Memasuki tahun sepuluh pernikahan, kami belum diberi keturunan. Walaupun selama ini, hal itu tidak menjadi persoalan bagi mas Bambang, tetapi aku sadar, bahwa suami dan orangtua, sangat mengharapkan kehadiran keturunan.
“Kak Mira merasa sangat bersalah dengan keadaan ini. Kak Mira berpikir, saatnya kami memperioritaskan keturunan. Akhirnya, Kak Mira mengajak mas Bambang ke dokter dan memulai program kehamilan.
“Hal ini ternyata juga mulai mengusik pikiran mertua Kak Mira. Mereka mulai bertanya, mengapa kami belum memiliki keturunan. Saat itu, di akhir pekan, kami berkunjung ke rumah mertua. Ternyata, itu menjadi pertemuan terakhir Kak Mira dengan mereka.”
“Terakhir?” Aisyah tersentak.
“Iya. Karena setelah itu, keluarga terguncang hebat. Di pertemuan itu, mertua mulai menunjukkan rasa kecewa dan lelahnya menunggu cucu dari kami.”
"Mira, Bambang. Ayah dan Ibu mau bertanya ke kalian berdua,” ucap Ayah saat itu.
“Iya Yah, silakan,” jawab Mas Bambang.
“Kalian kan sudah menikah sepuluh tahun. Ayah dan Ibu mau tahu, apa memang kalian belum memprogramkan untuk punya anak? Karena Ayah dan Ibu, sudah rindu memiliki cucu.”
“Kami selalu berusaha kok, Yah. Cuma mungkin Tuhan belum mempercayai kami untuk memiliki anak.”
“Tujuan kalian menikah kan, untuk memiliki keturunan?”
“Mas Bambang tidak memiliki keberanian di depan ayahnya. Dia hanya diam, tampak serba salah menjawab pertanyaan ayahnya.”
“Jangan-jangan istri kamu mandul?” lanjut Ayah.
“Kak Mira kaget mendengar tuduhan ayah mertua. Mengapa beliau bisa menuduh Kak Mira yang menjadi penyebab kami belum diberi keturunan?”
“Ayah, jangan menuduh Mira seperti itu. Bisa saja Bambang yang tidak bisa memiliki keturunan.”