Beberapa detik tidak fokus, Aisyah akhirnya mengingat bahwa dia membutuhkan kalkulator untuk menyelesaikan tugas dari kampus. Dia pun segera ke kamar Rumi.
Ya Allah, kakakku bahkan tidak sempat lagi merapikan tempat tidurnya.
Aisyah lantas merapikan dan membersihkan kamar Rumi.
Tampak dokumen masih berserakan di atas meja.
Pasti kak Rumi begadang lagi semalam. Pantas hari ini buru-buru banget ke kantor.
Aisyah kemudian membersihkan tempat tidur dan tidak sengaja dia menemukan sebuah buku bersampul merah bertulisan ‘Goresanku’.
Apakah aku boleh membukanya? Nanti kak Rumi marah? Ah nanti dia enggak bakalan tahu. Aku buka saja. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa aku tahu tentang kak Rumi.
Dia membuka pelahan, halaman demi halaman. Sampai dia tiba pada halaman yang bertanda khusus, Destiny.
11 Januari 2014
Tak terasa semuanya benar-benar berakhir. Kutuliskan kisah ini, hadiah untukmu, diriku. Bahwa aku lebih bahagia dan semakin kuat hari ini. Terima kasih.
Ya, hari itu tak akan pernah kulupakan, hari yang sebenarnya sangat aku tunggu.
Seseorang yang sangat aku kagumi, sangat aku impikan, akan berbicara serius tentang hubungan kami, yang selama ini, aku tahu hanya sebatas rekan kerja. Aku menyukainya, namun aku tak pernah berani menyampaikannya. Selain karena alasan aku seorang wanita, batasan agama masih aku pegang.
Kami sudah saling mengenal beberapa tahun ini. Dia seseorang yang sangat aku kagumi sejak pertama kali aku diterima bekerja di kantor ini. Usia kami sama, bahkan bulan lahir kami pun saja.
Sedetil itu aku tahu tentangnya. Rasa penasaran selalu hadir dalam diri ini tentangnya. Ini tidak salah, selama aku masih menjaga batas yang kuyakini.
Kami mulai dekat sejak berdiskusi banyak tentang pekerjaan. Dari pekerjaan, merambah ke hobby, dan keluarga. Salah satu hal yang mengagetkanku, ternyata dia pernah tinggal di kota yang sama denganku, saat kecil dulu. Bahkan rumahnya tidak jauh dari rumah kami. Tetapi entahlah, apakah kami pernah bertemu atau tidak sebelumnya.
Aku mendengar dia akan naik jabatan, dan saat itu juga dia berjanji akan menyampaikan hal penting terkait hubungan kami. Sahabatnya, Adam, selalu menjadi penengah hubungan kami selama ini. Hubungan yang aku pun tak tahu, statusnya seperti apa. Aku sangat menjaga batas dan jarak. Komunikasi kami kubatasi tidak merambah ke persoalan pribadi.
Pagi-pagi aku sangat bersemangat menuju kantor.
Aku seperti tidak bisa menunggu lagi, untuk segera mendengarkan apa yang ingin dia sampaikan. Jujur, aku baru kali ini merasa jatuh cinta, jatuh hati yang sangat. Impian berumah tangga yang sebelumnya belum pernah kupikirkan, tiba-tiba merasuk saat kuberpikir tentangnya. Sosoknya sangat memberiku inspirasi, selalu memberikan motivasi. Bisa menjadi teladan dan sosok pemimpin idaman.
Fikri.
Nama yang hampir setiap detik hadir dipikiranku. Aku hanya terus memohon kepada Allah, agar aku terus bisa menjaga hati ini, dan dilabuhkan pada waktu dan orang yang tepat. Aku selalu berharap yang terbaik dari-Nya, pilihan-Nya.
Saatnya pun tiba, saat dia mengajak aku beserta Adam, bertemu di ruang rapat yang biasa digunakannya bersama rekan-rekan kerja. Saat itu, kantor sedang ada acara, sehingga ruangan rapat sedang tidak terpakai.
Aku berusaha mendengarkan setiap kata, setiap kalimat yang terucap darinya. Laki-laki yang telah membuatku jatuh hati sedalam ini.
“Rum, sesuai yang aku janjikan hari ini, aku ingin bicara serius dengan kamu. Aku mengajak Adam, supaya tidak ada fitnah, jika ada yang melihat kita, di sini.”
“Iya Mas, aku siap mendengarkan,” jawabku saat itu, dengan penuh keyakinan.
“Rum, aku tidak tahu bagaimana perasaanmu terhadapku. Tetapi aku berharap, kamu juga merasakan apa yang aku rasakan kini. Setelah sekian lama kita sering ngobrol dan berkomunikasi banyak hal, aku merasakan kenyamanan, yang tidak pernah aku dapatkan saat berkomunikasi dengan teman-teman yang lain.”
Aku hanya menunduk, sambil mendengarkan ucapan Fikri.
“Rum, aku telah sampai pada satu keputusan. Aku ingin melamarmu!”