Kebahagiaan Aisyah, begitu terpancar di wajahnya. Bahagia, penuh syukur.
“Terima kasih ya, Syah. Kamu tidak pernah bosan ada bersamaku.”
“Sama-sama Put. Oh ya, kamu hari ini mau mengurus apa?”
“Saya mau bertemu pak Rahman dulu. Ada satu mata kuliah beliau yang nilainya belum keluar.”
“Oke. Aku mau ke ruang administrasi dulu, ya. Mau melengkapi dokumen ujian sidangku.”
“Semoga sukses ya, Syah. Nanti kita bertemu di sini lagi, kalau urusan kita sudah selesai.”
“Oke.”
Mereka pun berpisah.
Semoga rasa sakitnya kemarin menjadi pengalaman berharga, membuatnya semakin menjadi wanita yang kuat dan lebih berhati-hati, harap Aisyah.
Beberapa jam kemudian, akhirnya semua berkas yang Aisyah butuhkan untuk ujian sidang telah lengkap.
Sekarang aku fokus ke persiapan fisik dan paling utama mental. Semoga aku bisa memberikan kebanggaan untuk orangtuaku ya Allah dan teruntuk kakakku Rumi. Dia telah melalui berbagai banyak kesulitan hidup demiku, ya Allah. Semoga kebahagiaan selalu untuknya.
Waktu telah menunjukkan pukul lima sore, saat Aisyah tiba di rumah.
Dia kaget melihat kakaknya sudah ada di rumah. Tidak biasanya dia pulang secepat ini.
“Kak Rumi, kok tumben banget pulang jam segini?” tanya Aisyah. “Kak Rumi agak kurang sehat, Syah.”
“Kak Rumi sakit apa?” tanya Aisyah, panik, karena Rumi tidak pernah sakit, fisiknya sangat kuat.
“Hanya kelelahan saja Dik. Kamu tidak usah seserius itu.”
“Ya bagaimana tidak serius, Kak Rumi kan enggak pernah sakit? Tiba-tiba sakit, ya jadinya Aisyah khawatir.”
“Namanya manusia, ada masa di mana badan mencapai puncak lelahnya. Beberapa waktu ini, Kakak memang sibuk sekali di kantor. Apalagi pak Wahyu lagi cuti nikah. Jadinya pekerjaan beliau harus Kak Rumi tangani juga.”
“Oh, pak Wahyu sudah nikah? Cepat juga ya kak?”
“Namanya jodoh. Tidak ada namanya cepat atau lambat.”
“Kak, boleh bertanya?”
“Biasanya langsung bertanya, enggak pake izin dulu?” sahut Rumi, heran.
“Selama tinggal dengan Kak Rumi empat tahun ini, aku enggak pernah melihat dan mendengar Kak Rumi ngobrol tentang seseorang.”
“Seseorang?”
“Ya, seperti Kak Rumi menyukai seseorang atau ada yang menyukai Kak Rumi. Apa Kak Rumi memang enggak pernah dekat dengan seseorang?”
“Kalau ada, ya pasti Kakak cerita dong, Dik. Lagian sampai sekarang, Kakak belum berpikir ke arah sana. Kalaupun Kakak mau, maunya enggak pacaran. Kalau mau, serius, langsung datang bertemu ayah dan ibu!”
“Apa Kakak yakin, tidak pernah menyukai seseorang?”
“Yakin dong, Syah. Kok kamu bertanya seperti itu?”
“Mau tahu saja, Kak. Kan Kak Rumi cantik, karier oke, saleha lagi. Masa enggak ada yang naksir begitu?”
“Ah kamu. Kamu istirahat sana, bersih-bersih. Ini mau masuk magrib.”
Aisyah terdiam dan berlalu menuju kamar.
Aisyah masih terus terpikir dan belum bisa lepas dari apa yang dia baca pagi tadi.
Kehidupan betapa penuh misteri ya Allah. Aku menyesal, mengapa kak Rumi mengambil keputusan itu. Empat tahun berlalu sejak surat itu ditulisnya.
Ya Allah, apakah masih ada harapan untukku mempertemukan kak Rumi dengan cinta pertamanya?
Empat tahun, bisa saja kak Fikri sudah menikah dan punya anak. Ya Allah, aku betul-betul tak tahu harus bagaimana. Aku sangat berutang besar pada kakakku.
Jika saja ada kebahagiaanku yang bisa kuberikan untuknya ya Allah.
Sampai di kamar, Aisyah masih terus bergumam sendiri. Catatan di buku harian itu, sangat mengganggu pikirannya.
Magrib akhirnya merapat. Malam pun tiba.
Setelah menyelesaikan kewajibannya, serta makan malam bersama kakaknya, Aisyah kembali ke kamar.