Aisyah dan Putri menuju meja makan dan segera menyantap makanan yang telah disediakan Rumi. Mereka berdua memang sangat kelaparan, saking terburu-burunya ke kantor Fikri. Mereka tidak sempat memikirkan untuk makan siang.
“Syah, jadwal wisudanya sudah ada belum?”tanya Rumi. “Sudah Kak, insyaaAllah awal bulan depan.”
“Iya harus jelas, karena ibu dan ayah perlu datang, kan? Jadi bisa diatur waktunya, sehingga ayah dan ibu bisa hadir.”
“Iya Kak, insyaaAllah itu sudah fix jadwalnya.”
“Jadi, apa rencanamu setelah ini?” tanya Putri. “Aku magang di tempatnya kak Rumi, sambil menunggu ijazah. Iya kan Kak?”
“Iya,” jawab Rumi.
“Andai aku juga kelar ya, aku juga bisa kerja di tempatnya Kak Rumi,” sambung Putri. “Ehm, yang ada kalian buat kerjaan Kak Rumi jadi berantakan,” jawab Rumi, sembari tersenyum.
“Enggak dong Kak. Kami kan adik-adik terbaik, yang pasti membanggakan.”
Putri menyangkal ucapan Rumi, sambil mencolek Aisyah yang duduk tepat di sampingnya, yang sedari tadi hanya membisu.
“Putri!” ucap Aisyah, terkesiap dengan tangan Putri yang menyentuh pipinya.
“Putri, kabar ayah dan ibu bagaimana?” lanjut Rumi. “Alhamdulillah Kak, beliau berdua sehat,”
“Sudah sering di rumah, kan?”
“Ehm, masih seperti biasa Kak. Tetapi aku tidak lagi bersedih. Aku punya Aisyah dan Kak Rumi, jadi aku sudah sangat bersyukur.”
“Kak Rumi senang kalau Putri sekarang sudah jadi lebih dewasa.”
“Iya Kak. Aku ingin menjadi anak yang lebih baik, membuat ayah dan ibu bangga.”
“InsyaaAllah, pasti mereka bangga.”
“Kak Rumi,” Aisyah akhirnya bangun dari diamnya, dia tiba-tiba mengingat sesuatu. “Ya?”
“Kak, pekan ini kita liburan yuk? Kan Kak Rumi libur sabtu ini, Aisyah mau refreshing.”
“Boleh, kamu atur saja.”
“Alhamdulillah. Putri akan ikut, aku mau ajak juga kak Mira ya, Kak?”
“Ya, kamu atur saja. Kakak ikut saja,” jawab Rumi.
Aisyah kembali bersemangat.
Dia memiliki karakter yang dewasa dan sedikit manja. Namun, ketika berhadapan dengan kakaknya, dia selalu seperti anak kecil, adik kecil yang selalu butuh perhatian.
Aisyah tidak pernah melupakan Mira, dia selalu ingin menyertakannya dalam setiap kebahagiaannya, karena Mira pun selalu memperlakukannya, demikian.
Apalagi setelah mengetahui perjalanan hidup Mira yang sangat berat, Aisyah pun merasa punya tanggung jawab ikut memberikan kebahagiaan untuk Mira, yang dianggapnya seperti Rumi, kakak kandungnya.
Tepat jam empat sore, Putri pamit untuk pulang. “Syah, aku pamit ya. Sudah sore.”
“Oke, terima kasih ya Put untuk hari ini.”
“Sama-sama. Kak Rumi, Putri pamit ya? Terima kasih untuk masakan lezatnya.”
“Masakan warung ya, haha. Oke, hati-hati ya Put?”
“Iya Kak, assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam,” jawab Aisyah dan Rumi.
Putri meninggalkan rumah Aisyah dengan mobil kesayangannya.
“Kak, aku ke kak Mira dulu ya?”
“Ini anak, enggak ada capainya. Baru tiba mau berkeliaran lagi?”
“Ya daripada bengong di sini Kak.”
“Oke, tetapi balik sebelum magrib ya?”
“Siap bos.”
Aisyah menuju rumah Mira. “Assalamualaykum, Kak Mira.”
“Wa’alaykumussalam Aisyah. Ayo masuk.”