Berselang beberapa menit, Aisyah muncul dari dalam rumah.
“Kak Mira sudah ada? Aku pikirnya tadi Kak Mira masih lama, jadinya Aisyah hanya menunggu di dalam.”
“Iya, Syah. Ini Abduh juga sudah siap. Enggak apa-apa kan, Abduh yang bawa mobil?”
“Oh iya, Kak,” jawab Aisyah dengan senyuman tulus. “Oh ya, aku belum kenalin kalian berdua ya. Syah ini Abduh, adik Kak Mira.”
“Salam kenal, Abduh,”
“Salam kenal, Kak Aisyah,” sahut Abduh.
“Aku serasa tua banget ya dipanggil Kakak, haha.” Aisyah tertawa lebar mendengar Abduh memanggilnya dengan sebutan Kakak.
“Kan kamu memang lebih tua, Syah.”
“Tetapi kan, enggak tua-tua amat Kak Mira. Panggil Aisyah saja ya, aku enggak enak dipanggil Kakak.”
“Baiklah. Dengar ya Be, kamu jangan manggil Kakak, kalau dia ngamuk bahaya lho,” canda Mira yang disertai tawa, yang membuat wajah Aisyah berubah cemberut.
“Kok Kak Mira bilangnya begitu?”
“Bercanda kok Syah, kamu kan adik paling manis.”
Aisyah kembali tertawa mendengar pujian Mira. Mira selalu paham cara menghadapi Aisyah.
“Haha, gombal deh. Ayo Abduh nanti kamu telat. Kak Mira kami berangkat dulu ya?”
“Oke, hati-hati ya. Abduh jangan balap-balap, bawa mobilnya santai saja,” perintah Mira.
“Baik Kak.”
“Assalamu’alaykum,”
“Wa’alaykumussalam.”
SUV biru pun melaju.
Beberapa menit, suasana hening masih tercipta di dalam mobil.
Ada kekakuan di antara keduanya.
“Abduh, kok diam saja? Kalau kamu diam, jalannya akan semakin panjang lho.” Aisyah mencoba memulai obrolan.
“Hehe, kak Aisyah bisa saja.” Abduh tertawa kecil mendengar ucapan Aisyah. “Kok manggil Kak lagi. Tadi kan sudah dibilang enggak pake Kak!”
“Baik Aisyah!” Abduh menuruti permintaan Aisyah.
Abduh salah tingkah, kelihatan sangat tertekan berdua dengan Aisyah. Dia hanya bisa tersenyum kecil mendengar ocehan Aisyah.
“Kata Kak Mira, kamu mengambil jurusan Teknik Mesin ya?”
“Iya Kak.”
“Tuh kan, manggil Kak lagi. Aku marah, lho.”
“Baik, baik, Aisyah,” sahut Abduh, salah tingkah.
“Begitu dong. Oke kita lanjut, tadi kamu belum menjawab pertanyaanku?”
“Iya benar, saya mengambil jurusan Teknik Mesin.”
“Alasannya, ambil jurusan itu?”
Aisyah bertanya seperti sedang wawancara kerja, begitu detail pembahasannya, membuat Abduh semakin kikuk dan tidak tahu menjaga sikap.
“Saya cuma ingin memberikan manfaat untuk banyak orang,” jawab Abduh singkat.
“Maksudnya bermanfaat?”
“Di zaman ini, semua aktivitas manusia itu pasti pakai mesin, hampir semuanya. Jadi kalau saya punya pengetahuan lebih tentang mesin, saya bisa memberikan banyak manfaat ke orang banyak.
“Apalagi saat ini, mesin-mesin industri hampir semuanya buatan luar negeri. Harapan saya, suatu saat nanti, mesin-mesin itu, bisa dibuat oleh anak bangsa sehingga terjangkau oleh semua kalangan.”
Aisyah terpaku.
Hebat banget pemikirannya. Sangat jauh ke depan,
“Oh ya, Aisyah kemarin ambil jurusan apa?”
“Aku juga sama, Teknik Mesin.”
“Kata Kak Mira, Aisyah salah satu mahasiswa terbaik di jurusannya. Saya bisa dong belajar banyak dari Aisyah?”
Akhirnya, kekakuan Abduh mulai cair.
“Boleh saja. Silakan kapan saja kamu butuh bantuan, bisa langsung ke rumah atau menelepon saja.”