Saat Aisyah dan Putri merasakan duka yang sama, Abduh pun tenggelam dalam kepahitan takdir. Saat dia baru mulai menyadari perasaannya, takdir justru berkata lain.
“Kenapa enggak ikut ke acara lamarannya Aisyah, padahal Rumi juga mengundang kamu?” tanya Mira, sesampainya di rumah.
“Kak Mira seperti tidak tahu perasaanku.”
“Be, sejak awal Kakak sudah minta, kamu jangan berharap terlalu jauh. Kamu dan Aisyah terlalu banyak perbedaan. Kamu fokus ke kuliah kamu, Dik.”
“Tetapi hati tidak bisa dipaksakan Kak. Sampai saat ini pun, aku tidak bisa menghilangkan perasaanku ke Aisyah. Ditambah lagi dia kemarin menginap di sini, merawat Kakak, bagaimana aku bisa berpaling Kak? Dia sangat menyayangi Kak Mira, aku akan sangat bahagia jika impianku bisa saja terkabul. Aisyah wanita yang selama ini sangat kuimpikan Kak.”
“Abe, Kakak ngomong ini sekali lagi. Kamu fokus kuliah dulu ya Dik, insyaaAllah akan ada wanita lain dan terbaik untuk kamu. Kakak sudah bahagia dengan hubungan Kakak dengan Aisyah, Rumi dan keluarganya. Aisyah akan menikah. Agar kamu tidak terlalu terluka, belajarlah untuk menghilangkan perasaanmu itu, ya?” pinta Mira.
“Aku akan tetap berjuang Kak, aku tidak mungkin menyerah begitu saja.”
“Tetapi Kakak mohon, jangan lakukan sesuatu yang akan merusak hubungan baik, yang sudah kita jalin selama ini dengan keluarga Aisyah, Kakak minta tolong.”
“Kakak percaya saja, aku tahu apa yang harus aku lakukan, Kak.”
“Abe, Abe, kok kamu harus jatuh cinta ke Aisyah, dalam kondisi yang seperti ini?”
“Aku selalu yakin Kak, Allah tidak akan menghadirkan perasaan ini, jika memang tidak baik untukku.”
Abduh masih saja bertahan tentang keyakinan perasaannya. Dia tetap meyakini, bahwa apa yang dia rasakan bukanlah sesuatu yang salah.
“Ya, kamu saja. Tetapi ingat pesan Kakak tadi.”
Mira mengalah menghadapi keteguhan hati Abduh.
“InsyaaAllah Kak. Aku akan selalu menjaga nama baik keluarga. Aku selalu percaya Kak, bahwa apa yang Allah hadirkan dalam hati setiap umat-Nya adalah petunjuk-Nya. Apa yang kurasakan terhadap Aisyah sekarang adalah rasa yang Allah pilihkan untukku. Tidak ada yang serba kebetulan di dunia ini, semua atas izin-Nya.
“Saat aku pertama bertemu dengannya, dia mengantarku ke kampus. Allah menunjukkan keramahannya sebagai seorang wanita berpendidikan. Ramah, tidak egois, rendah hati. Allah kembali menunjukkan kasih sayangnya kepada Kak Mira saat sakit. Untuk apa semua itu jika Allah tidak berhendak? Untuk apa semua itu ditunjukkan di depan mataku, Kak?”
“Be, kamu terlalu membawa perasaan dalam peristiwa demi peristiwa itu. Semua itu kondisi yang biasa terjadi.”
“Tetapi bagiku tidak, Kak.”
“Baiklah kalau begitu Adikku. Kakak izinkan kamu tetap optimis terhadap perasaanmu. Tetapi jangan sampai itu menghancurkan semua impianmu, dan merusak hubungan kita dengan keluarga Aisyah.”
“InsyaaAllah Kak, percaya pada Abe.”
“Tetapi kamu harus ingat, Aisyah itu sudah punya calon suami. Kamu tahu kan batasannya?”
“Iya Kak. Aku paham semuanya dan akan menjaga batas itu.”
“Baiklah. Kakak istirahat dulu, ya?”
“Iya, Kak.”
Mira pun menuju kamar.
Tinggallah Abduh yang masih duduk termenung. Pikiran tentang Aisyah, masih saja mengganggunya.
Ya Allah, aku sungguh tak tahu, perasaan ini datang begitu saja, perlahan, namun terus meyakinkanku, aku benar-benar jatuh hati dengan Aisyah.
Jika saja rasa malu tidak membatasiku, aku akan sangat percaya diri di depannya. Umurku boleh lebih muda, tetapi aku yakin mampu membahagiakannya suatu saat nanti. Aku tak akan menyia-nyiakan rasa yang Engkau hadirkan untukku ya Allah.
Malam tiba.
Abduh kembali mencoba meyakinkan Tuhannya dalam sujud panjang. Dia terus mendekati Tuhannya. Karena baginya, semua tidak akan terjadi, jika Allah tak berkehendak. Dia selalu yakin, bahwa apa yang dirasakannya adalah petunjuk dari Allah.
Waktu pun berlalu.
Persiapan pernikahan Aisyah dan Rayhan, semakin menyibukkan Rumi beserta keluarganya. Menyambut pernikahan adik kesayangannya, Rumi terjun langsung mengurusi segala kebutuhannya. Kasih sayangnya tidak pernah berkurang sedikit pun. Dia akan selalu memberikan yang terbaik darinya, kepada adiknya.
Siang ini, dengan kesibukan yang sama, Adam tampak masuk ke ruangan Manajer Operasional.
“Rum, sibuk banget, ya?”
“Lumayan,” jawab Rumi, singkat. “Kalau aku ngomong sesuatu, apa enggak mengganggu kamu?”
“Tetapi aku sambil kerja, enggak apa-apa?”
“Iya, enggak apa-apa,” sahut Adam, memberi persetujuan.
Beberapa saat kemudian, Adam justru terdiam. Tampak ada sesuatu yang ingin disampaikannya, terlihat dari sorot matanya, namun dia masih meragu.
“Kok, kamu malah diam? Katanya ada yang mau disampaikan?”
Adam menghela napas, dan mengembuskannya. Dan akhirnya, keberanian itu hadir.
“Rum, sebentar lagi, kan, Aisyah nikah—” belum selesai, Adam malah kembali diam.
Rumi mulai menyadari sikap Adam, dia tersenyum.
“Dam, kamu kenapa sih? Kok ngomongnya kayak ragu begitu?”
“Ehm, kamu enggak ada rencana nikah, Rum?”