Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan

Jane Lestari
Chapter #18

Bagian 18

Aisyah dan Putri kembali bertatapan, terkejut dengan pertanyaan Rumi. Mereka tidak menyangka, kepergian mereka ke kantor Fikri tempo hari, akan diketahui Rumi.

Rumi tersenyum pahit.

“Kalian berdua, tega-teganya menghancurkan Kakak kalian sendiri!”

“Maksud Kak Rumi?” tanya Aisyah, tidak mengerti.

Rumi menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan kedua adiknya.

“Apakah kalian berdua tidak pernah berpikir, konsekuensi keberanian kalian menemui pak Fikri?! Selama hidup, Kak Rumi selalu berjuang, bekerja keras membangun citra positif, harga diri, tetapi seketika kalian hancurkan!”

“Kak—”

“Kamu tidak perlu jelaskan. Kakak sangat kecewa pada kalian berdua. Kalian telah menghancurkan Kak Rumi. Kalian memperlakukan Kakak kalian, seperti perawan tua yang tidak ada lagi harapan menemukan pendamping hidup. Serendah itukah kalian menilai Kak Rumi?!” suara Rumi semakin meninggi.

Napasnya semakin sesak.

Dia berusaha menahan amarahnya, yang sebenarnya telah sampai di ujung kepalanya.

Aisyah tersentak mendengar ucapan kakaknya yang sangat menusuk tajam. Kalimat Rumi sangat melukainya, air matanya mengalir.

Putri pun merasakan hal yang sama.

Mereka berdua tidak pernah menyangka, Rumi akan menanggapi seperti ini. Kalimat Rumi terlalu menyakitkan.

“Kalian berdua—” Rumi menghela napas, dia berusaha mengendalikan hatinya.

“Kenapa kalian seperti ini? Kalian menyakiti Kakak?!” tangis Rumi pecah, ketegaran yang selama ini ditunjukkannya, akhirnya berguguran. Kekecewaan yang sangat besar, tampak dari sorot matanya.

Rumi berdiri dan menuju kamarnya.

Dia tak lagi peduli dengan kedua adiknya, yang juga terlihat masih terpukul mendengar semua kata-katanya.

Sejenak hening.

Aisyah dan Putri sibuk menenangkan diri masing-masing. Kesedihan itu tampak jelas. Mereka tidak menyangka, niat baik mereka, disalahartikan oleh Rumi.

“Put, mengapa seperti ini?” Aisyah menguatkan diri, berusaha mencari cara untuk mengobati kekecewaan kakaknya.     

“Aku juga enggak tahu. Aku juga tidak menyangka kak Rumi akan tahu.”

Suasana kembali sepi. Keduanya terdiam, dengan perasaan bersalah.

Di kamar, tampak Rumi terus merenung. Walau hatinya sangat kecewa, dia berusaha menguatkan dirinya dengan prasangka positifnya.

Matanya tertuju pada buku hariannya, yang telah lama tidak dia buka.

Satu-satunya tempat, di mana kisahku tertulis, di buku itu. Apakah Aisyah telah membacanya?

Rumi mengambil dan membuka kembali buku hariannya itu.

Dia terus mencari halaman, di mana dia menuliskan seluruh kisahnya bersama Fikri.

Di tengah halaman buku, akhirnya dia temukan tulisan itu. Dia membaca semuanya, sampai pada baris terakhir. Dibukanya lembar berikutnya dan ditemukannya tulisan, “Aku berjanji akan mengembalikan cintamu, Kakak.”

Air mata Rumi seketika tumpah tanpa jeda sedikit pun. Didekapnya buku harian itu, gemuruh hebat menyelinap dalam ruang-ruang kesedihannya.

Aisyah, Aisyah.

Air matanya semakin mengalir deras tanpa bisa dihentikannya.

Di tengah keharuan yang dirasakan Rumi sangat kuat, tampak Aisyah dan Putri berdiri di depan pintu kamarnya yang sedari tadi terbuka.

Aisyah mendekati kakaknya, dan memeluknya.

“Kak, maafkan Aisyah!” Air mata Aisyah, pun, kembali mengalir, yang membuat tangisan Rumi, juga semakin deras.

“Terima kasih ya Syah. Maafkan Kakak.”

Rumi menghapus air mata Aisyah yang terus saja mengalir.

Putri juga mendekat, “Kak, Putri juga minta maaf.”

Rumi menyambut Putri dengan pelukan yang sama.

Lihat selengkapnya