“Kak Rumi, dulu gagal dengan kak Fikri, karena beliau tidak bisa sepenuhnya menerima keinginan Kak Rumi. Walaupun Kakak sangat mencintai kak Fikri, akhirnya semua juga berakhir. Sedang pak Adam, dia sangat menyayangi Kak Rumi. Dia bahkan mencintai Kak Rumi beserta keluarga kita. Apa lagi yang Kak Rumi inginkan?”
Rumi masih tidak merespons.
“Kak, apakah Kakak masih ingat? Kakak pernah mengatakan kepada Aisyah, temukan seseorang yang mencintaimu bersama kebahagiaanmu. Jangan bersama dengan seseorang yang hanya mau menerimamu, namun menjauhkanmu dari kebahagiaanmu. Itu ucapan Kak Rumi.”
Kalimat terakhir Aisyah, akhirnya membuat Rumi bangun dari kebisuannya.
“Dik, hati itu tidak bisa dipaksakan. Kemarin, memang cinta Kak Rumi masih belum bisa lepas dari pak Fikri. Tetapi hari ini, hati Kak Rumi telah tertutup untuk cinta yang baru. Entahlah jika besok, Kak Rumi tidak tahu.”
“Baiklah, Kak.”
Aisyah akhirnya menerima jawaban Rumi. Dia tak punya banyak kalimat, jika kakaknya sudah memutuskan.
Aisyah sadar, kebahagiaan masing-masing orang berbeda dan itu tidak bisa dipaksakan.
“Oh ya, Syah. Sebulan ini, enggak ada kabar dari Putri, ya? Dia enggak pernah main ke rumah lagi?”
“Iya Kak, terakhir Aisyah ngobrol di telepon, katanya dia lagi sibuk banget di butik mamanya.”
“Alhamdulillah. Kamu telepon nanti, ya? Kak Rumi kangen.”
“Baik, Kak.”
Menyelesaikan makan siang, Aisyah kembali ke ruangannya.
Dia langsung menghubungi Putri, sesuai permintaan Rumi.
Setelah beberapa percakapan, Putri berjanji akan ke rumah Aisyah malam ini. Obrolan di telepon tidak berlangsung lama, karena Putri sedang ada pertemuan penting.
Malam tiba.
Putri akhirnya datang ke rumah Aisyah. Sesuai janjinya tepat di pukul tujuh malam, mobilnya sudah terlihat terparkir di depan rumah Aisyah.
“Syah, kayaknya Putri datang,” ujar Rumi.
Aisyah berdiri, membuka pintu.
“Putri!!!” teriak Aisyah, berlari menuju Putri, yang masih berada di luar pagar.
“Kamu kenapa?” Putri kaget melihat sikap Aisyah, yang begitu agresif, memeluknya.
“Put, sejak kapan kamu pake hijab? Ya Allah, kamu cantik banget!”
Aisyah memeluk sahabatnya, sangat erat.
“Ya Allah, ini kan biasa. Justru aku malu, karena aku baru menjalankan perintah Allah.”
Tanpa menjawab, Aisyah menarik tangan Putri masuk ke dalam rumah.
“Kak,” tutur Aisyah ke Rumi, sambil memperlihatkan penampilan baru Putri.
“MasyaaAllah, ada bidadari turun dari surga.”
“Mulai deh!” Putri malah merasa terganggu dengan pujian berlebihan, Aisyah dan Rumi.
“Pantasan Kak Rumi kangen banget sama Putri. Ternyata ada keindahan yang belum Kakak dan Aisyah saksikan.”
“Sudah deh Kak. Lama-lama Putri pingsan nih, kalau dipuji terus.”
Aisyah dan Rumi tertawa. Mereka pun larut dalam obrolan panjang. Melepas rindu yang berjarak, selama beberapa waktu terakhir. Dalam keseriusan obrolan, ponsel Aisyah terdengar berdering.
“Ya Allah, Aisyah, ponselmu ribut banget,” ucap Putri.
“Sorry,” jawab Aisyah, seraya menerima panggilan teleponnya.
“Ibunya mas Rayhan,” ucap Aisyah pelan, kepada Putri dan Rumi.
“Assalamu’alaykum,”
“Wa’alaykumussalam, Aisyah?”
“Iya Bu. Ini Aisyah.”
“Aisyah, Ibu mau memberi kabar, Rayhan masuk Rumah Sakit.”
Tersentak!
“Mas Rayhan, sakit apa Bu?”
“Sejak semalam, dia diare dan muntah-muntah,” jawab ibu.
“Astagfirullah. Ibu kirim alamat tempat mas Rayhan dirawat, ya?”
“Iya Ibu kirim segera. Ibu tunggu.”
“Baik Bu.”
“Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam,” sahut Aisyah menutup telepon.
“Syah, mas Rayhan masuk rumah sakit?” tanya Putri. “Iya.”