Tak ada suara, Rumi terdiam, Putri pun membisu.
“Mengapa Allah memberiku cobaan yang luar biasa seperti ini Kak? Mengapa harus sekarang?” sambung Aisyah, kembali dengan kesedihan yang tak bisa lagi disembunyikannya.
“Syah, Allah yang paling tahu hamba-Nya. Selalu ada hikmah dibalik setiap masalah, kamu jangan putus asa.” Lagi, Rumi berusaha menguatkan.
“Apa yang harus Aisyah lakukan sekarang, Kak?”
“Kak Rumi tidak bisa memberikan jawaban. Semua keputusan ada di hati kamu sendiri, Adikku. Kamu mencintai Rayhan? Kamu yakin akan bahagia bersamanya?”
“InsyaaAllah Kak.”
“Jadi apa yang kamu pikirkan lagi? Sakit adalah bagian dari hidup. Sakitnya Rayhan, bisa saja, cara Allah mengukur, sejauh mana kamu memperjuangkan niat baik, yang sudah kamu bangun bersama Rayhan.”
Aisyah kembali terpaku.
“Put, bawa Aisyah ke kamarnya ya, biar dia istirahat dulu,” perintah Rumi.
“Baik Kak.”
Putri membawa sahabatnya ke kamar.
Aisyah kehilangan kekuatan, dia sangat lemah dan sangat rapuh saat ini. Terlalu banyak hal yang dia pikirkan, sehingga dia semakin tak tahu, keputusan yang harus dia ambil.
Melihat kondisi Aisyah, Putri memberi kabar ke ayah dan ibunya, untuk menginap bersama Aisyah, malam ini. Dia berusaha selalu ada di samping sahabatnya.
Keesokan harinya, Aisyah bersama Rumi, menuju rumah sakit.
Besar harapan Aisyah, ada kabar baik, yang bisa lebih menguatkannya, menghadapi pernikahannya yang tinggal menghitung hari.
“Assalamu’alaykum,” ujar Rumi dan Aisyah, masuk ke dalam kamar rawat Rayhan.
“Wa’alaykumussalam,” jawab Rayhan, ibu dan ayahnya.
“Aisyah, Rumi, mari Nak,” sambut ibu.
“Aisyah…” Rayhan memanggil Aisyah, pelan, dengan senyuman yang nyata menampakkan betapa lemahnya dia.
“Iya Mas,” jawab Aisyah, dengan senyuman, berusaha kuat.
“Ibu, bagaimana keadaan Rayhan?” tanya Rumi.
“Hasil pemeriksaannya telah kami terima kemarin. Kesimpulannya, Rayhan untuk beberapa waktu ini, harus dirawat.”
“Hasilnya bagaimana Bu? Apakah tetap diagnosis Lever?”
“Iya Nak.”
“Jadi, kira-kira bagaimana pernikahan Rayhan dan Aisyah?” lanjut Rumi.
“Kalau kami, tergantung Rumi dan pastinya Aisyah. Dengan kondisi Rayhan yang seperti ini, kami juga tidak punya pilihan lain,” jawab Ayah Raihan.
“Kalau Rayhan bagaimana?” tanya Rumi, kembali.
“Kalau aku terserah Aisyah saja, Rum. Kemarin aku sudah menyampaikan kondisiku sekarang.”
“Aisyah?” Rumi mengalihkan pertanyaan kepada adiknya.
“Aisyah harus membuat keputusan. Karena ini untuk masa depan Aisyah sendiri, bukan masa depan Kak Rumi. Jadi Aisyah ungkapkan saja, apa yang ingin Aisyah lakukan sekarang,” jelas Rumi.
Aisyah semakin tertekan. Semua mata tertuju padanya. Menunggu jawaban darinya.
Ya Allah tolonglah aku.
Jeda.
Aisyah menghela napas dan terus menguatkan diri.
Bismillahirrohamanirrohim.
“Aku ingin pernikahan kami dipercepat!” ungkap Aisyah.
Tersentak!
“Aisyah? Apa kamu yakin?” bisik Rumi.
“Ya Kak, InsyaaAllah.”
“Aisyah, apakah kamu sudah mempertimbangkan semuanya? Keadaanku sekarang? Ini bukan sakit biasa, Syah?” tutur Rayhan.
“Apakah adil, jika Aisyah meninggalkan Mas Rayhan sekarang? Kita sudah membangun impian rumah tangga yang bahagia. Apakah, karena Mas sakit, perasaan itu bisa diubah? Mas percaya, Aisyah tulus ingin menjadi istri Mas Rayhan, bagaimanapun keadaan Mas Rayhan.” Air mata Aisyah, mengalir, tak tertahan.
“Ya Allah Aisyah, betapa mulia hatimu, Nak. Ayah dan Ibu sangat berterima kasih, dan sangat bersyukur, Rayhan memiliki calon istri sepertimu, Nak.”
Ibunda Raihan memeluk Aisyah. Rasa haru, begitu jelas terlihat di matanya.
“Terima kasih, Syah.” Rayhan, pun tak mampu menahan haru. Matanya berkaca-kaca.
“Jadi keputusannya bagaimana?” tanya Rumi, memperjelas. “Aisyah siap menikah besok, Kak?”
Rumi kembali tercengang. Semua sangat cepat, tiba-tiba.
“Aisyah, itu terlalu terburu-buru. Rayhan juga masih di rumah sakit, masih di rawat.”
“Kak, Aisyah mau menikah di sini saja. Menikah, kan, mudah, Kak. Aisyah tidak ingin mempersulit. Aisyah ingin segera merawat mas Rayhan.”
“Adikku….”