Perasaan yang sama, juga berselimut dalam hati semua orang-orang yang sangat menyayanginya. Namun, semuanya berusaha, memahami keputusan Aisyah. Semuanya menampakkan kebahagiaan, untuk menguatkan Aisyah.
Tidak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di rumah sakit. Mereka langsung menuju kamar perawatan Rayhan.
Rayhan masih terbaring sangat lemah. Namun penampillannya sangat istimewa.
Dia tampil menggunakan kemeja putih dilengkapi dengan jas hitam. Ketampanannya menyeruak, walaupun wajahnya sangat pucat.
Ya Allah, betapa pria ini sangat sempurna, Engkau kirimkan untukku. Ya Allah, semoga ini awal kebahagiaan kami.
Aisyah begitu terpana, melihat sosok pria yang dicintainya, terlihat sangat sempurna pagi ini.
Semua telah hadir, orangtua Rayhan, seorang pejabat KUA dan saksi dari keluarga Rayhan.
“Alhamdulillah semuanya telah berkumpul. Baiklah kita segerakan saja akad nikahnya,” ujar Rumi, memulai.
“Baik, Bapak, Ibu silakan duduk di tempat yang disediakan.” Ayah Rayhan melanjutkan.
Selanjutnya, Bapak penghulu memberikan sedikit pengantar tentang urutan prosesi akad nikah yang akan dilaksanakan. Kemudian, memberikan kesempatan kepada ayahanda Aisyah yang bertindak sebagai wali nikah.
Seluruh prosesi akhirnya berlalu, dengan kata 'Sah' sebagai penutup.
“Alhamdulillah,” ucap, semua yang hadir.
Aisyah memberikan penghormatan, kepada orantuanya, kepada orangtua suaminya. Juga kepada kakak dan sahabatnya.
Air mata itu jelas, tak mampu dibendung, dia mengalir tanpa jeda.
“Ayo Syah, mendekat ke suami kamu,” ucap Rumi.
Aisyah mendekat ke Rayhan, sangat dekat.
Dia menyambut tangan suaminya, dia kecup untuk pertama kalinya, sebagai pria yang telah halal untuknya.
Rayhan membalas, dengan mengecup kening sang istri, “Terima kasih ya, Aisyah, istriku.”
Aisyah tersenyum, menatap Rayhan dengan penuh cinta.
“Selamat ya, Adikku?” ucap Rumi, memeluk adiknya erat.
“InsyaaAllah, kebahagiaanmu dimulai detik ini,” lanjutnya.
“Terima kasih, Kak Rumi.” Aisyah kembali tak mampu membendung tangisnya.
“Kenapa menangis? Harus tersenyum dong, senyum dong,” goda Rumi.
Aisyah berusaha tersenyum.
“Syah, selamat ya Adikku,” ucap Mira.
“Terima kasih Kak Mira, terima kasih selalu menemani Aisyah selama ini.”
“Sama-sama, Adikku.” Senyum tulus Mira, membuat Aisyah sadar, betapa Allah sangat baik kepadanya. Banyak kasih sayang yang ada untuknya.
Alhamdulillah, sahabatku telah menikah. Kasihan dong, aku yang jomblo,” canda Putri, sambil memeluk sahabatnya.
“Terima kasih ya, Put. InsyaaAllah kebahagiaanmu, juga akan segera menjemput.”
“Amin.”
Akhirnya, acara yang menguras hati telah terlalui. Proses yang begitu singkat, namun begitu besar maknanya.
“Kalau begitu, kami pamit, ya?” ujar Rumi.
“Kok, cepat banget baliknya, Kak?” tanya Aisyah, heran.
“Bagaimana kamu dengan Rayhan bisa dekat, kalau kami semua masih berkumpul di sini.” Rumi masih terus menggoda adiknya.
“Kak Mira juga pamit kalau begitu.”
“Aku juga sekalian, ya?” Putri menambahkan.
“Lho kok pada mau balik semua?”
“Ya sudah, kamu enggak usah bertanya lagi, kami pamit ya, Adikku,” jelas Rumi.
Satu per satu, meninggalkan Aisyah bersama Rayhan, termasuk ayah dan ibunda Raihan.
Ya Allah, inilah pilihanku mempercepat pernikahan kami. Tugas merawat dan menjaga mas Rayhan, sekarang menjadi tugasku, batin Aisyah.
“Syah, kamu kenapa melamun?”
Suara Rayhan menyadarkan Aisyah dari lamunan.
“Enggak kok, Mas,” ucapnya sambil menggenggam tangan Raihan.
“Syah, apa kamu tidak menyesal?” tanya Rayhan. “Mas kenapa bicara seperti itu? Aisyah enggak suka!”
“Terima kasih ya, Syah,” ujar Rayhan. Senyumannya begitu indah. Walaupun matanya tidak bisa menutupi kesedihan hatinya.
Aisyah tidak menjawab ucapan suaminya.
Dia malah naik ke atas tempat tidur Rayhan, berbaring, dan memeluk suaminya, erat.
Ya Allah, ternyata begini rasanya bersama dengan orang yang dicintai. Ternyata inilah kebahagiaan, yang tidak pernah kubayangkan selama ini.
“Kok begini, nanti perawat masuk Syah, nanti ditegur lho.”
“Takut banget sih, Mas? Kita kan sudah halal, biar saja.”