Hari-hari dilalui dengan langkah berat oleh Aisyah. Dia lupa caranya tertawa.
Hanya air matanya, yang kini menjadi saksi, setiap detik yang dia lalui, menyaksikan suaminya, merasakan kesakitan yang tidak lagi bisa disembunyikannya.
Setiap hari, dia bolak balik ke rumah sakit, untuk menjaga dan mengurus Rayhan. Dia terus berupaya, memberikan perhatian dan kasih sayangnya, memberikan segala yang terbaik dari dirinya.
Rumi, Putri dan Mira, bahkan kehilangan kalimat, untuk bisa terus menguatkan Aisyah. Mereka hanya memberikan kehadiran, berharap akan menjadi kekuatan untuk Aisyah, terus berjuang demi kesembuhan Rayhan.
Namun, dua pekan berlalu, Rayhan belum juga membaik.
Belum selesai beban Putri dengan kondisi Aisyah, sebuah kejutan kembali hadir, menemuinya siang ini. Dia mendapat pesan, lagi-lagi dari Dinda.
Dinda: Put, Kak Baim sudah ada di café sebelah butik kamu.
Putri: Kok, tiba-tiba, Din?
Dinda: Kamu lupa? Kemarin aku sudah chat kamu.
Putri kembali menyesali sikapnya. Bisa-bisanya dia melupakan pesan Dinda kemarin. Bukannya dia beri respons, dia malah lupa membalasnya.
Ya Allah, mengapa harus seperti ini?
Belum sempat ditanggapi oleh Putri, Dinda melanjutkan pesannya.
Dinda: Kak Baim sudah di sana, sekarang.
Putri: Baik Din.
Dengan berat hati, Putri melangkahkan kakinya menuju café yang terletak di samping butiknya.
Dia berusaha menenangkan dirinya. Dia sebenarnya belum mau memikirkan hal lain, saat ini. Dia hanya ingin mendampingi sahabatnya.
Baim tampak menunggu di meja yang sama, saat bersama Putri tempo hari. Baim menyambut kedatangan Putri dengan senyuman ramah.
“Assalamu’alaykum,” sapa Baim.
“Wa’alaykmumussalam,” jawab Putri.
“Sudah lama, Kak?”
“Lumayan,” sahut Baim.
Hening.
Keduanya terdiam. Berharap ada yang berinisiatif memulai pembicaraan.
“Bagaimana?” ucapnya bersamaan.
Suasana malah kembali kaku.
Putri terus menjauhkan pandangannya ke apa saja, yang ada di hadapannya. Sedang Baim, salah tingkah, kadang pegang kepala, pegang hidung, mainin sendok.
Jeda beberapa menit, akhirnya Baim yang memberanikan diri memulai obrolan.
“Bagaimana kabar, mama papa, Put?”
“Alhamdulillah keduanya sehat, Kak.”
Kembali hening.
Apa yang harus aku katakan, Ya Robb, batin Putri.
“Boleh saya bertanya, Pak?”
“Kok panggil Bapak lagi sih? Kemarin kan kita sudah sepakat?”
“Sorry,” ucap Putri, merasa bersalah.
“Oh ya Put, bagaimana kabar Aisyah? Dengar-dengar dia sudah nikah, ya?”
Baim akhirnya menemukan topik.
“Iya Kak, sudah nikah beberapa bulan yang lalu. Tetapi dua pekan ini, suami Aisyah dirawat di rumah sakit.”
“Beliau sakit apa?”
“Kanker hati, Kak.”
“Astagfirullah,” ucap Baim, terkejut.
“Kebetulan kita bahas masalah Aisyah. Saya juga mau bahas sedikit tentang pembicaraan saya, dengan Dinda sebelumnya, Kak.”
“Oh iya, silakan.”
“Ehm….” Tiba-tiba rasa gugup menguasai Putri. Lidahnya kaku.
Baim, tersenyum.
Ya Allah, pesona gadis ini membuatku semakin jatuh cinta padanya.
“Begini, Kak.” Akhirnya kekuatan Putri, kembali.
“Saya sangat berterima kasih untuk niat Kak Baim. Tetapi untuk saat ini, saya masih fokus mendampingi Aisyah, menghadapi masa sulitnya. Dia sudah mendampingi saya selama ini, menjalani setiap tahapan sulit dalam hidup saya. Sekarang giliran saya, Kak.”
“Saya mengerti kok, Put. Kamu tidak perlu khawatir, InsyaaAllah saya akan menunggu.”
Putri menghela napas, ada rasa lega.
“Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Kak. Soalnya saya masih ada kerjaan.”