Untuk pertama kalinya, Abduh masuk ke dalam kamar Aisyah. Di meja belajar Aisyah, terlihat fotonya bersama Rayhan.
Senyuman Aisyah tampak begitu sempurna di samping mendiang suaminya. Cintanya yang begitu besar, terlihat nyata, melalui pancaran cahaya di mata dan senyumannya.
Bagaimana bisa aku bisa menjadi cintanya, Ya Allah? Apakah ini tidak akan semakin menyakitinya?
Abduh tidak bisa menahan kesedihannya. Air mata itu kembali membasahi pipinya. Dia merasakan duka yang sangat. Dia takut menghadapi kenyataan, jika nanti Aisyah tahu dan membencinya.
Aisyah terbangun dan menyadari kehadiran Abduh.
“Mas Rayhan dari mana saja? Aisyah kesepian di kamar sendiri. Kak Rumi juga melarang Aisyah ke mana-mana,” ucap Aisyah, manja, bangun dari pembaringannya.
Betapa sakitnya hati ini ya Allah. Istriku, memanggilku dengan sosok lain yang ada dipikirannya. Aku akan berusaha tegar ya Allah. Aku percaya, semua akan indah pada waktunya.
“Iya, Sayang. Tadi, Mas ngobrol dulu dengan kak Rumi dan kak Mira,” jawab Abduh, lantas duduk di tepi tempat tidur.
“Mas, kok Aisyah rindu banget ya? Perasaan, Aisyah bertemu Mas Rayhan setiap hari,” sambung Aisyah, yang kemudian meletakkan kepalanya di pangkuan Abduh.
Senyuman Aisyah tampak sangat berbeda. Seperti kebahagiaan anak kecil yang baru mendapatkan hadiah.
“Iya dong, siapa dulu,” jawab Abduh, sambil menunjuk dirinya. Dia berusaha mengikuti arah kebahagiaan Aisyah.
Hatinya sangat terluka saat mendengar Aisyah menyebut nama Rayhan. Namun, inilah momen terbaik dia buktikan ketulusan cintanya yang sebenarnya.
Ya Allah, walaupun istriku masih menganggapku sebagai orang lain, aku sudah sangat bahagia bisa bersamanya. Aku percaya, cinta dan kasih sayangku, akan membawa kembali senyum tawanya seperti dulu.
Sejak pernikahan mereka, semua foto-fotonya bersama Aisyah, Abduh simpan di kamarnya, di rumah Mira. Abduh tidak ingin menggantikan foto-foto Aisyah bersama Rayhan di kamar itu.
Walaupun dia sangat mencintai Aisyah, dia tidak ingin membunuh semua kenangan Aisyah, yang sudah dia lalui bersama dengan Rayhan, kenangan yang sangat indah untuk Aisyah.
Waktu terus berlalu, kondisi fisik Aisyah semakin membaik, namun ingatannya masih belum kembali.
Abduh terus memperlakukan istrinya dengan sangat baik, di tengah luka hatinya yang harus dia rawat setiap hari. Saat Aisyah hanya bisa mengucap nama, Rayhan, Rayhan.
Baginya, kebahagiaan Aisyah lebih penting dari segalanya.
Rumi dan Mira terkadang merasakan kesedihan yang sama saat melihat romantisme Aisyah dan Abduh. Mereka merasakan sesak yang dirasakan Abduh. Saat dia yang sangat mencintai Aisyah, tetapi yang dicintai Aisyah adalah Rayhan.
Saat ini, Rumi sedang hamil dan menuju bulan terakhir.
Dia begitu bersyukur, Putri selalu hadir merawatnya, juga merawat Aisyah. Putri telah menunjukkan dirinya sebagai sahabat terbaik untuk Aisyah.
“Dik.”
“Iya, Kak.”
“Apa kamu enggak capai setiap hari bolak balik, dari butik ke sini, ke rumah lagi? Apa ayah dan ibu, enggak masalah?”
“Kak Rum, ayah dan ibu tahu, hubungan aku dan keluarga Kak Rumi. Putri sangat menyayangi Aisyah, dan sudah menganggap Kak Rumi bagian dari diri Putri.”
“Terima kasih ya, Dik.”
Rumi memeluk Putri. Rasa syukur atas kehadiran Putri membuatnya jauh lebih kuat.
“Dik mungkin saatnya kamu pikirkan dirimu. Hampir dua tahun ini, kamu hanya sibuk mengurusi Aisyah.”
“Kak, bagi Putri, tujuan hidup saat ini, ingin melihat senyuman Aisyah bisa kembali seperti dulu. Jika senyuman itu belum kembali, biarlah Putri tetap seperti ini.”
“Adikku, Putri. Kamu benar-benar sahabat terbaik untuk Aisyah.”
Putri menangis.
Kalimat Rumi, seakan mengungkit kembali duka dan kerinduannya yang sangat kepada sahabatnya. Dia menangis tak terkendali.
Rumi memeluknya erat dan mencoba menenangkannya.
Masuk dua tahun, sejak kondisi Aisyah belum juga membaik. Putri belum juga memberikan jawaban atas keseriusan Baim. Hal ini membuat Dinda mulai khawatir dengan harapannya, akan hubungan Putri dan kakaknya, Baim.
Baginya, ini sudah terlalu lama untuk kakaknya terus menunggu kesiapan Putri.
Dinda tak sampai hati, melihat kakaknya juga ikut merasakan duka yang begitu lama, seperti ini.
“Kak, sampai kapan?”
“Sampai Putri siap, Dinda,” jawab Baim, santai.
“Kak, Dinda sebenarnya sangat khawatir dengan kondisi Kakak sekarang. Sampai kapan Kak Baim, akan menunggu ketidakpastian ini? Kak Baim bisa menemukan wanita lain. Walaupun Dinda sangat berharap, Kak Baim bisa bersama Putri, namun waktu terus berlalu, Kak.”
“Dik, kamu tahu makna kesungguhan?”