Vas itu, mendarat mulus mengenai kepala Abduh.
“Ada apa ini?” Rumi tiba, bersama Adam.
“Kak Rumi, kenapa Abduh jadi kurang ajar seperti ini? Dia masuk ke dalam kamarku, memelukku, dalam keadaan hanya memakai handuk. Ya Allah, kenapa kamu jadi murahan seperti ini Abduh?”
“Ya Allah, Abduh kepalamu berdarah. Mas, minta tolong bawa Abduh dulu.”
Adam langsung membawa Abduh, dengan kepala yang mengeluarkan darah, setelah vas bunga yang dilemparkan Aisyah, mendarat mulus di pelipisnya.
Adam lantas memapah Abduh keluar dari kamar Aisyah.
“Kak Rumi, kenapa lebih memperhatikan Abduh? Kak Rum, aku adikmu! Dia sudah melecehkanku, Kak! Harga diriku sudah hancur! Kenapa dia seenaknya masuk ke dalam rumah, ke dalam kamarku? Ya Allah semuanya hancur, harga diriku hancur, tidak ada lagi yang tersisa!”
“Adikku, ada hal yang perlu kami jelaskan,” jelas Rumi, lembut.
“Apa lagi Kak Rumi? Bukannya mengecam Abduh, Kak Rumi justru seakan menyudutkanku! Apa yang sebenarnya terjadi, Kak?”
“Kamu tenang dulu ya, Adikku. Kita akan bicarakan saat kamu tenang. Intinya semua tidak seburuk yang kamu pikirkan. Kakak turun dulu, ya. Kamu istirahat dulu. Kamu percaya, ini bukan sesuatu yang buruk, percaya sama Kakak.”
Rumi, pun, keluar dari kamar Aisyah. Dia turun ke bawah, menemui Abduh dan melihat keadaannya.
Ya Allah kuatkan kami, menghadapi kenyataan sadarnya Aisyah. Sebuah konsekuensi yang harus kami terima, dari keputusan menikahkan Abduh dan Aisyah, saat kondisi Aisyah tidak sadar.
Rasa khawatir Rumi terbukti. Kenyataan itu semakin jelas, pelan tetapi pasti.
“Jadi, bagaimana Kak Rum?” tanya Abduh.
“Abduh untuk sementara, Abduh ke kamar sebelah dulu ya, sambil menunggu waktu tepat, membicarakan semua kenyataannya dengan Aisyah. Kak Rumi takut, jika memaksakan sekarang. Kondisi Aisyah kembali lemah.”
“Baik Kak. Demi kebahagiaan Aisyah, saya akan melakukan apa pun.”
“Terima kasih ya, Dik.”
Di tengah situasi yang tidak baik ini, Rumi begitu bersyukur, karena Abduh selalu membuktikan ketulusan cintanya pada Aisyah.
Beberapa menit kemudian, Mira tiba dari kantor. Dia langsung ke rumah Rumi.
“Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam, Mira.”
“Ada apa Rum? Abduh meneleponku.”
“Ya begitu Mir, Aisyah ingat semuanya. Namun, dia tidak mengingat peristiwa setelah kematian Rayhan. Abduh, tadi masuk ke dalam kamar mereka. Aisyah mengamuk dan berpikiran buruk ke Abduh.”
“Astagfirullah, jadi bagaimana Rum?”
“Ada baiknya Abduh kembali ke sebelah dulu ya, Mir. Sambil perlahan, aku menenangkan hati Aisyah. Karena ini sangat tidak mudah untuknya.”
“Baik Rum. Aku percaya, semua akan berjalan lebih baik, setelah ini.”
“Iya Mir. Terima kasih banyak atas pengertiannya.”
Mira, pun, membawa Abduh.
Kondisi Abduh sudah lebih baik, setelah diobati Adam. Luka di pelipisnya sudah mengering.
Ya Allah, bagaimana aku bisa memulai membicarakan ini dengan Aisyah.
Rumi terus berpikir keras untuk menghadapi adiknya. Dia tidak tahu harus memulai dari mana, tentang kenyataan ini.
“Rum.”
“Iya, Mas.”
“Jadi, bagaimana?”
“Aku enggak tahu Mas, mau berbuat apa sekarang. Aku takut memaksakan, menjelaskan semua ke Aisyah, sekarang. Aku masih ingat peringatan dokter. Aisyah harus dihindarkan dari kondisi syok, yang kedua kalinya. Karena itu, bisa membuatnya kehilangan ingatan selamanya.”
“Kita lihat saja dulu, kondisi Aisyah. Mas percaya, Allah tidak akan membiarkan kita sendiri menghadapi masalah ini.”
“Iya Mas. Haa, beratnya kehidupan ya, Mas. Di lain pihak, semua ini kita lakukan demi kebahagiaan dan kesembuhan Aisyah. Namun, jadinya seperti ini.”
Rumi menghela napas panjang. Situasi yang benar-benar sangat buruk baginya.
“InsyaaAllah, semua akan berakhir indah, Sayang.”
Tak cuma Rumi yang terus khawatir dengan situasi mereka. Adam pun merasakan hal yang sama. Dia juga mengkhawatirkan kondisi sang istri yang sedang hamil besar. Dia tidak ingin kondisi Rumi memburuk, dengan situasi rumah yang belum kondusif.
Di dalam kamar, kegelisahan menerpa Aisyah.
Entah apa yang dia cari. Ada rasa penasaran hinggap dalam jiwanya.
Dia membongkar semua isi almarinya, isi laci.
Dia melihat seluruh pakaian Rayhan, masih utuh.
Sampai, dia menatap dua buku kecil yang terselip di bawah pakaiannya.
Dua buku kecil berwarna hijau dan merah.
“Buku nikah?” ucapnya, pelan.
Dia membuka buku berwarna hijau.
Matanya tertuju pada fotonya dan Abduh.
Dia merasakan kepalanya sangat berat, dia merasa sesak.
Dia bingung dengan apa yang dilihatnya. Dia berdiri dan berlari menuju kamar kakaknya.