Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan

Jane Lestari
Chapter #30

Bagian 30

Aisyah terus berjalan sambil menoleh, ke beberapa ruangan yang dilaluinya. Dia menuju lantai atas.

Mira dan Putri mengikuti langkah Aisyah, pelan.

Langkah Aisyah akhirnya terhenti, di depan ruangan yang tertutup.

“Kamar Abduh,” ucap Mira ke Putri.

“Apa yang mau dia lakukan, Kak?” bisik Putri. Dia merasa khawatir.

Mira menenangkan Putri.

Kamar Abduh, pikir Aisyah.

Kamarnya tidak terkunci. Aku minta maaf ya Abduh, langsung masuk kamar kamu tanpa permisi.

Memasuki kamar Abduh, ada rasa berbeda hadir dalam relung hati Aisyah.

Saat dia menoleh ke dinding kamar, air matanya mengalir melihat foto-fotonya bersama Abduh.

Ya Allah. Fotoku bersama Abduh. Satu tahun ini, terlalu banyak hal yang kuhabiskan bersamanya. Maafkan aku. Aku tidak sadar, akan cinta dan kasih sayangmu.

Aisyah mendekap satu foto, saat dia mengecup pipi, Abduh.

Ya Allah ampuni aku, betapa berdosanya aku, ya Allah.

 “Aisyah?!” Abduh kaget, melihat Aisyah ada di kamarnya. Dia baru keluar dari kamar mandi, sehingga tidak menyadari kehadiran Aisyah.

Tanpa kata, Aisyah berdiri dan langsung memeluk sosok yang sebenarnya sangat dia rindukan.

“Aisyah, apa kamu baik-baik saja?” Abduh kembali tersentak dengan sikap Aisyah, yang tiba-tiba berubah padanya.

“Abduh, maafkan aku. Aku sangat berdosa padamu, suamiku. Ampuni aku.”

Abduh membalas pelukan Aisyah.

“Ya Allah, untuk pertama kalinya kamu memanggil namaku, Syah.”

Abduh mendekap erat Aisyah dan semakin erat.

Abduh mengecup kening istrinya dan air matanya menetes.

“Ini waktu yang sangat kunantikan. Allah memberikan buah dari kesabaranku menunggumu,” tutur Abduh, haru dan bahagia menyatu.

 “Maafkan aku, maafkan Aisyah.”

 “Ya Allah. Terima kasih, terima kasih untuk kebahagiaan yang sempurna ini,” ucap Abduh. Tidak berhenti dia mencium kening istrinya, dan memeluknya erat, seakan tidak ingin dia lepaskan lagi.

Mira dan Putri yang menyaksikan adegan ini dari luar kamar, begitu terharu.

Jelas di air mata mereka, yang juga tidak bisa lagi dikendalikan.

Mira dan Putri saling berpelukan, berbagi kebahagiaan yang sama atas kebahagiaan hari ini.

***

Pagi melelahkan namun berhadiah kebahagiaan yang nyata dan tak terhitung nilainya. 

Putri pamit, untuk kembali ke rumah, sebelum menjenguk Rumi di rumah sakit. Sedangkan Aisyah, Mira dan Abduh, tengah dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Aisyah merasakan rindu berat pada kakaknya.

Dia begitu bahagia, di awal kebahagiaannya yang baru, bertambah dengan kehadiran bayi mungil kakaknya. Pemandangan yang mengejutkan Rumi, saat melihat Aisyah berjalan menujunya sambil menggandeng Abduh.

Rumi menatap Mira, dan mencoba bertanya sikap Aisyah ke Abduh. Mira memberikan reaksi dengan tersenyum, yang menandakan bahwa semua telah sesuai keinginan Rumi.

Rumi terharu, sangat bahagia.

“Adikku, sayang.” Rumi memeluk adiknya, dan air matanya kembali tak terbendung.

“Kakak sangat menyayangimu. Kakak begitu bahagia hari ini, Allah memberikan kebahagiaan yang sempurna.”

Aisyah menghapus air mata kakaknya.

“Kak, terima kasih untuk kasih sayangmu yang tak pernah berubah sedikit pun.” Kalimatnya terhenti sejenak. Nafasnya terdengar sesak.

“Terima kasih untuk segalanya, Kak.” Air mata itu kembali tumpah.

Perjalanan mereka, disertai banyak kerikil tajam, akhirnya berujung pada bahagia. Bahagia yang sangat sempurna.

Hari ini semuanya berbahagia, akhir itu benar-benar indah.

Setelah lebih sehat, Rumi kembali ke rumah.

Kehidupan mereka akhirnya bisa benar-benar sempurna.

Tiba di rumah, ternyata Putri sudah mempersiapkan kejutan untuk kakaknya. Dia bersama Aisyah, dibantu Mira, menghiasi rumah, seindah mungkin.

Kejutan ini membuat Rumi sangat terharu. Dia bersyukur Allah begitu sangat menyayanginya. Dia diberikan banyak kebahagiaan dan kasih sayang.

Sesaat setelah selesainya acara syukuran atas kelahiran bayi mungil Rumi, Aisyah mengajak Putri berbicara serius.

Untuk pertama kalinya, sejak Aisyah kembali sehat, Aisyah berkunjung ke rumah Putri.

“Ada apa sih Syah?” tanya Putri, saat Aisyah memaksa untuk ikut ke rumahnya.

“Aku mau ngomong serius.”

“Kan, bisa di rumah kamu. Kok harus ke sini?”

“Kamu enggak mau, aku jalan-jalan ke sini?”

“Bukan begitu maksud aku. Kamu aneh saja.”

“Oke.”

“Apa sih, Syah? Tumben jadi serius begini?”

“Tentang Pak Baim!”

Rona wajah Putri berubah. Dia merasa, nama itu terus saja membayangi hidupnya.

“Aku minta, kamu jelaskan, apa yang belum sempat kamu ceritakan ke aku? Kamu sudah janji!”

“Nanti saja ya, bukan hal penting juga, Syah.”

“Putri!” Suara Aisyah meninggi, dia mulai emosi dengan kelakuan Putri.

Putri mencoba menenangkan Aisyah. “Sorry.

“Kamu ya, Put. Kenapa kamu buat pak Baim seperti itu? Apa memang, kamu tidak punya perasaan padanya? Kamu tidak punya hati?”

“Kok, kamu bicara begitu, Syah? Jangan emosi dong. Kamu bukan banget, Aisyahku.”

“Putri, Sayang. Please, dengarkan!”

“Oke, aku mendengarkan.”

“Kok, bisa-bisanya kamu biarkan orang yang sangat mencintaimu, menunggu begitu lama? Kamu bisa setega itu?”

Sejenak hening.

Putri menghela napas, mencoba mengendalikan diri agar lebih siap menyampaikan semua isi hatinya.

“Syah, sejak awal, itu sudah kubahas dengan beliau, dan beliau terima. Beliau terima risikonya, menunggu sampai aku siap.”

“Kamu keterlaluan, Put. Beliau sudah menunggu terlalu lama!”

“Aisyah, kamu belum lama sembuh. Bagiku, kamu sahabatku, yang paling penting, tidak ada yang lain.”

“Aku sudah sembuh dan sudah bahagia dengan Abduh. Kamu mau alasan apalagi?”

Tak ada jawaban.

Putri mencoba mengalihkan pandangannya dari tatapan Aisyah.

“Put, lihat aku! Kamu juga mencintai pak Baim?”

Putri menunduk tanpa kata.

“Put, tolong! Apakah yang sebenarnya terjadi? Kamu masih anggap aku, sahabatmu, saudaramu?”

Lihat selengkapnya