Sayup cahaya senja memenuhi sepenjuru surga. Arunika memandang jendela kamarnya. Kicau burung membasuh telinganya. Sisa-sisa gerimis yang mengembun merabunkan pandangan, menciptakan bentuk-bentuk menyerupai kelopak bunga. Dia yakin melihat azalea merah jambu dalam sekilas kilau—mengenangkannya kepada hutan azalea yang didatanginya tempo hari bersama sahabat-sahabat malaikatnya—tapi lalu perhatiannya teralih kepada pantulan sayap yang meredup di kaca, yang mengecil dan sebentar lagi lenyap sepenuhnya—sepasang sayap seringan cahaya yang selama ini menemaninya. Dipandangnya bayang-bayang samar wajahnya sendiri, yang sudah lama meninggalkan masa kanak-kanak, tetapi masih menyimpan secercah pendar belia di mata. Terdengar denting piano dari kaset yang beberapa hari lalu dibelinya. Sebuah lagu mengalun lembut, entah apa judulnya, membuat panorama di seberang jendela menjadi seredup lukisan Monet. Arunika curiga ini salah satu simfoni klasik Debussy—pasti bukan Reverie atau Clair de Lune—yang itu sudah sepenuh hati dikenalnya.
Hujan turun lagi, perlahan menjadi gerimis yang deras, kemudian menderas menjadi badai kecil yang ritmis—selalu sukar menggambarkan hujan, yang satu berbeda dengan yang lain. Setiap kali hujan turun, dia membayangkan gadis kecil yang menangis, yang wajahnya menyerupai wajahnya dan air matanya menyerupai air matanya. Terkadang dia ingin menjadi hujan, atau sepatah puisi, yang mengabadikannya.
Arunika mengenang mimpi itu, yang baru saja ditulisnya di buku harian, dan dengan menyalinnya di sini, izinkan aku memulai kisah ini.
Dalam mimpiku—mimpi pertamaku di dunia selanjutnya, matahari yang sama dengan yang setiap hari memberkati hari, membasuh pagi dengan cahayanya yang dipenuhi kebaikan hati. Bahkan, saat itu pun, aku sudah bertanya-tanya, apakah Matahari adalah Tuhan?
Seorang ibu bergaun putih dengan corak bunga berwarna gading, berdiri tepat di sampingku. Gaunnya yang ringan disentuh angin yang tenang. Udara sejuk mengalir lembut di sebelah kami; tidak terlalu kencang, tidak jua terlalu lambat. Aku pun mengenakan gaun yang sama dengannya, hanya saja jauh lebih kecil, sebab tinggiku hanya separuh dirinya. Cuaca pagi secerah musim panen yang tidak terasa terik. Tangannya yang lembut menggenggam tanganku, erat, seperti yang selalu kudamba. Kami begitu dekat seolah tiada berjarak. Dia menuntunku berjalan di rerumputan yang masih basah bermandi embun. Kaki kecilku melangkah ragu dalam gerak yang gagu, tapi aku merasa tenteram. Tak goyah sebab dia menjaga langkahku.
Dengan debar hangat di dada, aku menengadah, berharap dapat memandang wajahnya, yang setiap hari tak kunjung selesai aku rindu. Namun, kilau Matahari yang terlampau terik menghalangi mataku, membuatku tak mampu melihat apa pun, kecuali senyumnya yang menenangkan, seolah berkata, semua akan baik-baik saja. Senyum seorang ibu. Ibuku. Aku masih ingat detak jantungnya, yang begitu dekat dengan jantungku, saat kami lebih dekat daripada peluk. Jantungku berdenyut karena bersatu dengan jantungmu. Aku menjaga kenangan itu dalam hati—kenangan satu-satunya yang dihadiahkan hidup padaku.
Aku pun terjaga. Ibuku, tak ada di mana pun.
Saat Arunika—yang saat itu belum bernama—membuka mata, ibu lain yang bukan ibunya mengembannya lembut di pangkuan. Gaunnya bukan putih bersih dengan corak bunga berwarna gading seperti yang dikenakan ibu kandungnya, melainkan kelabu yang mendekati hitam, dan bagian bawahnya sudah gombal di banyak tempat. Sang anak menengadah dan memandang dinding-dinding di sekitarnya. Dia menyadari huruf dan angka yang tercantum di belakang bangku memanjang. Ada bayang-bayang gelombang yang berayun dalam remang, memantulkan laut malam yang senyap.
Suara ombak yang mengalun merdu dan kepak sayap burung-burung camar di depan mata jendela, membasuh telinganya yang baru saja terbuka dari mimpi. Kilau perak rembulan jatuh miring di lantai. Kabut tumbuh menyebarkan hawa redup. Gemerisik dedaunan dari pohon-pohon kelapa yang tumbuh begitu saja di permukaan samudra, menari-nari dalam desah angin laut. Saat telinga kecilnya menangkup bunyi nyaring gerbong dan rel, dia teringat di mana dia berada.
Aku duduk di bangku kereta. Melaju laun di malam yang tak menjanjikan fajar. Aku mulai tak memahami cara kerja waktu, bagiku sedetik sama saja dengan selamanya, dan selamanya tak ada bedanya dengan saat ini. Satu-satunya yang aku tahu, laut masih mendebur menghantam gerbong. Aku menangis tersedan. Dia, bagai ibu yang sabar, mengayun ringan tubuhku dan membasuh air mataku yang menghangat di pipi.
Kereta bergerak, tapi seolah tidak bergerak. Bulan di ufuk tak jua mendekat dan ombak yang menderu mendekati loko seolah menghantam objek yang diam. Tapi kadang terasa jua gegasnya dan mengagetkan Arunika. Dan, seolah belum cukup, semburan api yang sempat menghilang, terdengar lagi sesaat kemudian, memuntahkan sesuatu yang menyerupai asap, tetapi ternyata kabut. Konon, di dalam kabut itu, ada tempat tinggal para makhluk dongeng, seperti elf, peri, dan naga. Saat Arunika memejamkan mata, dia memang mendengar suara tawa yang menggema dari dalam tabun. Suara tersebut membuatnya tengadah memandang perempuan yang sejak tadi mengembannya. Dia ingin berkata hai, tapi bibirnya menafik bicara. Dia justru melanjutkan isaknya. Di matanya air mata berlinang, tapi tidak sederas tadi. Deburan ombak membuat koridor sedikit bergoyang. Seolah diayun dalam buaian, Arunika mendekatkan pipinya di dada perempuan itu—dan mencium aroma ibunya.
"Kau bukan ibuku, tapi kau menyerupai dia.” Matanya merekahkan sebuah tanya.
“Aku Maut." Dengan suara sehalus bisik, seolah menyimpan banyak sekali kesedihan, Maut menjawab. “Kamu sudah terjaga, rupanya. Kenapa kamu menangis, bunga kecilku? Mimpikah mengusik lelapmu?”
Namun, tak ada satu pun balasan. Anak itu hanya memandang matanya—mata yang begitu rapuh, tapi teduh melindungi. Ruangan berayun ringan seiring suara kereta yang berdogleg-dogleg. Meski telah menyebut nama, dia masih belum tahu siapa perempuan itu. Meski begitu, dia merasa aman dan baik-baik saja bersamanya.
“Maaf, aku harus menjemputmu secepat ini.” Maut terisak tertahan. Dia mendekap bayinya lebih lekat lagi.
Meskipun berjalan di atas laut, pemandangan di depan jendela tak hanya bentangan biru yang menjemukan. Jauh di dalam gulungan ombak, ada selaksa hasrat tak terwujud dalam bentuk riak-riak penyesalan yang dihiasi getir tangis kesia-siaan. Tapi, kau juga dapat menemukan rekah tawa dan berbagai kenangan manis dalam wujud yang indah, meski saat kau melihatnya, kau justru ingin menangis.
Jika kau sudi menengadahkan kepala, mengalihkan pandang sejenak dari muram yang menghiasi dasar samudra, di depan kaca, di balik malam yang masih membentangkan kelam, langit menawarkan ribuan bintang dengan cerlang yang tak terperikan indahnya. Rembulan terpacak sunyi di ufuk, tak beranjak sejauh apa pun kembara yang dijalani; sebanyak apa pun waktu yang disudahi.
Banyak manusia yang mengira, perjalanan menuju alam baka hanya dapat ditempuh dengan jalur vertikal. Siapa sangka, setelah mata terpejam kekal dan tubuh yang kaku pasrah memeluk Bumi, kita terjaga di sebuah stasiun yang masih menyisakan lega sekalipun dipenuhi banyak manusia. Di pesisir yang berbau garam dan sarat suara ombak, kita duduk di sisi laut, di hadapan sepasang rel yang membentang sejauh mata memandang—merentang horisontal hingga membentuk titik runcing di masing-masing ujungnya.