Melodi yang terdengar sungguh manis,
tapi yang tidak terdengar
lebih manis.
(John Keats – Ode on Grecian Urn)
Entah sudah berapa lama, kereta itu melewati “malam yang hampir selamanya”, di samudra kekal, di ujung dunia—laju di atas rel yang menghubungkan hidup dan mati. Maut yang pendiam mendekap lirih bayi di pelukannya, berharap dapat memberi kehangatan yang dibutuhkan anak dari ibunya. Tapi percuma. Sekeras apa pun upayanya, tidak ada hawa yang berpindah dari tubuhnya ke tubuh anak itu. Tidak ada dingin maupun panas. Tidak ada suam-suam kuku. Dia mendesah lirih, masih merasa bersalah karena harus menjemputnya secepat ini. Dia tak kunjung menyadari, bayi itu, yang bergelung nyaman dalam pangkuannya, mampu merasakan hatinya yang sarat kasih sayang—begitu lembut bagai belaian doa-doa. Andai saja sejenak dia mau melihat, dada yang berayun naik turun itu, juga mata yang hampir terkatup, dengan napas yang berembus tenang, Maut pasti tak sesedih itu. Tak ada air mata yang mengalir di pipi kecil itu, tak ada isak. Hanya hening yang melegakan.
Setelah berjam-jam duduk di kereta, dengan debur ombak yang menyentuh sisi-sisi gerbong, akhirnya kantuk datang menaburkan serbuk-serbuk lelah. Tanpa mampu bertahan, keduanya lelap dibuai kedamaian. Lena, langut, dan larut.
Di depan jendela, selain gerimis yang laun mengalun—jua gemuruh gelombang yang saling berkejaran—bulan termangu diam di ufuk. Lumba-lumba, yang sepertinya sekadar berlompatan dan berputar-putar di cakrawala, bagai hiasan dalam kelindan gaun kelam. Barisan pegunungan berselimut kabut, gelap nun di sana. Di puncaknya mengambang gemawan kelabu. Pepohonan bergeming, tiada berembus daun-daunnya. Angin berhenti, tak mengalirkan sejuk maupun pengap. Di dalam kesenantiasaan itu, debur ombak berkejaran dengan langkah konstan. Segala sesuatunya terasa menyimpan rahasia—misterius, tetapi indah.