Biasanya, para malaikat mengemban nama yang diterimanya semasa hidup. Kecuali jika kau ingin menggantinya—mudah saja—sebab tak ada asma sejati selain yang dimiliki Sang Jiwa.
Tetua memandang bayi dalam dekapannya. Aduhai, jari-jarinya mungil sekali. Sayapnya selembut beledu. Aku harus memberinya nama, pikir Tetua saat menyentuh pipi anak dalam buaiannya, tapi dia bukannya pandai memilih nama—dan sepanjang keabadian, yang dijalaninya dengan sepenuh hati, jarang sekali dia melakukannya. Maka, tak heran jika "Si Kuncup" adalah pilihan terbaik yang dapat dipikirkannya.
Ketika mengetahui nama baru bayi tak bernama yang dijemputnya, Maut tersenyum, bahkan tertawa. Tetua tak henti-henti mengirim fotonya kepada Maut melalui para Kurir yang kebetulan melewati perkampungan purba itu.
Tahun-tahun berlalu bagai kerdip mata. Si Kuncup tumbuh menjadi gadis kecil yang lincah. Ibu Bumi sendirilah yang menyusuinya—juga memetik buah-buah yang ranum untuknya. Dia dan Para Tetua mengasuhnya dengan sabar, mengajarinya bicara perlahan-lahan. Ketika tubuh kecilnya semakin kuat, Si Kuncup berjalan dengan langkah-langkah ringan di sunyi setapak. Kakinya segesit kijang, dan senyumnya seindah kembang. Sayapnya berkilau melampaui matahari di siang yang cerlang.
Di surga, kau dapat membuang atau membawa ingatan apa pun yang kauterima selama menjalani hidup di dunia. Sang Jiwa memperkenankanmu memilih momen-momen mana saja yang ingin kaubawa serta ke hidup yang baka, baik setelah maupun sebelum mengenal kata. Namum, kau juga dimampukan bicara dengan bahasa keheningan — yang keindahannya, dan kepurbaannya, melampaui bahasa mana pun di dunia. Si Kuncup bisa saja menghapus kenangan satu-satunya semasa “hidup”. Dia masih sebesar ibu jari ketika Maut menjemput, memunguti gumpalan darah dan daging yang seharusnya tumbuh menjadi dirinya. Namun, dengan tabah, dia memilih untuk mengingatnya. Dia ingin menjaga pengalaman itu dalam hatinya—degub jantung ibunya yang begitu dekat dengan jantungnya sendiri, suara ibunya yang lembut, yang tak sabar menunggu kehadirannya, juga kerinduan yang tak kunjung padam di benaknya.
Saat Si Kuncup berusia lima tahun, dengan berat hati, Tetua mengemas pakaiannya dalam tas kecil dan mengajaknya berjalan melintasi rimba. Dia harus mempunyai nama baru—sebuah nama yang lebih menyerupai nama, pikir Tetua. Dia ingin anak ini menjalani hari-hari sebagai malaikat dengan teman-teman sebaya yang kelak menjadi sahabat jiwanya. Tentu berat harus berpisah, tapi tidak mungkin membiarkannya menghabiskan seluruh hari di permukiman tua yang hanya dihuni tiga penduduk—yang, seperti namanya, sudah sangat tua—dan Ibu Bumi yang kehadirannya selalu ada sekaligus tak ada. Dia pun menemani Si Kuncup berjalan di setapak yang masih rimbun dicerlangi kunang-kunang. Tangan mungil Si Kuncup lincah memetiki buah beri ranum di semak yang tidak terlalu lebat. Dia langsung menyantapnya, membiarkan rasa manisnya lumer di mulut. Udara yang dingin tidak menghalangi rekah tawa di bibirnya. Tetua berjalan di belakang, perlahan-lahan dengan tongkatnya.
Hutan masih dipenuhi kabut. Suara burung pemecah biji menyelubungi kelam dengan ketukan paruhnya. Senyap yang membuana sejak berjam-jam lalu, pun pecah. Sesekali terdengar keretak patah dahan-dahan diinjak binatang kecil berkaki empat yang melintas di balik semak. Sesekali derik cengkeret menggema dalam kersik dedaunan. Geming menyergap tak lama kemudian. Menyisakan derap langkah yang tak terlalu cepat, diiringi kerpas daun yang pecah diremuk sandal tua Tetua. Saat matahari perlahan terbit di timur, mereka sampai di perbatasan. Ada bilik kecil yang di depannya terpajang berbagai jenis kudapan dan kotak permen. Si Kuncup, di balik jubah Tetua, melihatnya sekilas, tapi lantas menghilang lagi dalam persembunyiannya, saat malaikat perempuan—tanpa sayap dan lingkaran cahaya—membuka pintu dan menyiram bunga-bunga di halaman rumahnya.
“Selamat pagi,” kata Tetua.
Dia menghentikan pekerjaannya sejenak dan membalas sapa Tetua dengan senyum ramah, di matanya masih terkandung kantuk. “Pagi.”
Karena tak lagi ada yang memulai percakapan, Tetua mengangkat topinya dan melanjutkan perjalanan. Gadis kecil berjalan di depannya seraya merentangkan tangan, menginjak daun-daun kering dan mendengarkan suara pagi dengan nikmat. Sesudah melangkah cukup jauh, barulah dia mengingat ada sesuatu yang hendak ditanyakannya. “Siapa dia, Kek?”
Tetua berjalan dengan langkah-langkah pendek di sampingnya. “Dia punya nama yang indah, tapi entah kenapa lebih senang dipanggil Tukang Permen.”
“Tukang Permen?”
“Di dalam rumahnya, dia menjual berbagai kudapan yang enak dan manis rasanya. Legit bagai kenangan indah.”
Hanya beberapa jenak pada jarak, tanpa terasa keduanya sampai di sebuah bangunan tiga lantai yang catnya sudah mulai rontok dan mengelupas, dan di kusennya ada bekas serpihan rayap. Di depannya tertulis sepatah kalimat tanpa hiasan. “Asrama Bintang Utara”. Tetua menggoyangkan lonceng yang melekat di samping kotak pos dan mengetuk pintunya.
Malaikat perempuan yang sepertinya berusia awal dua puluhan membuka selot dan tersenyum ramah. Rambutnya yang panjang dan berwarna tembaga, diikat seadanya dengan karet. Meskipun penampilannya sederhana, dia memiliki paras yang rupawan, dengan mata cokelat tua yang dalam dan tenang. Ada aroma hangat sarapan yang menguar di tubuhnya. Sepertinya dia baru saja menghabiskan waktunya di dapur.
“Selamat pagi.”
“Selamat pagi, Sarah.”
Sarah melihat gadis kecil yang bersembunyi di balik jubah Tetua. Dia menyapanya dengan suara nan lembut.
“Si Kuncup, bukan? Salam kenal, ya. Kami sudah mendengar tentangmu, tapi ternyata kamu lebih cantik dari yang kami duga,” katanya, sebelum Tetua berkesempatan mengenalkan mereka. Dia menjulurkan tangannya dan tersenyum riang. “Kebetulan, kami sedang sarapan, kamu mau ikut?”
Gadis kecil tidak bergerak dan hanya menatap malu di balik jubah. Tapi Tetua mendorong punggungnya dengan pelan dan menyuruhnya berdiri di depan. Dengan rona di pipi, dia menyambut uluran tangan Sarah.
“Anda juga, masuklah dulu,” katanya pada Tetua yang berdiri terpaku di depan pintu.
Di meja panjang, ada sepuluh kursi yang masing-masing diduduki seorang anak, kecuali satu. Lima terlihat sudah dewasa—termasuk Sarah, empat lainnya masih kanak-kanak—mungkin sepantaran SD dan SMP. Di hadapan tiap-tiap anak, ada sepiring nasi dilengkapi telur urak-arik, beserta mangkuk sayur yang nampak lezat dan mengenyangkan. Udara hangat, matahari yang memancar di jendela membuat lampu tidak diperlukan. Semuanya perempuan.
“Sarah,” Tetua menggendong Si Kuncup dan mendudukkannya di kursi. “Dia dipanggil Si Kuncup, tapi itu nama pemberianku. Aku yakin dia berhak—dan ingin—mempunyai nama yang lebih indah—yang sesuai dengan paras ayunya. Kamu mau memikirkannya?”
“Tentu saja, kalau Anda mengizinkan. Kebetulan kami sudah membicarakannya dan menemukan satu yang cocok untuknya,” Sarah tersenyum dan menyentuh bahu gadis kecil.
“Dengan senang hati,” Tetua tersenyum. Ada sedikit perasaan sepi ketika harus melepas nama ‘Si Kuncup’—yang entah mengapa sudah melekat begitu erat pada gadis kecil di hadapannya. Tapi dia tersenyum dan menanti dengan tidak sabar. Sarah semingrah dan menarik napas dalam-dalam. Dengan lembut dia berkata, “Mulai sekarang, namamu Arunika. Artinya cahaya matahari pagi.” Siapa sangka, kamu benar-benar datang saat matahari baru saja terbit di ufuk.
“Aru—nika?” Si Kuncup mengulanginya tanpa sadar.
“Kamu suka?”
Mata yang berkilauan itu tidak mungkin berkata ‘tidak’, bukan?
Sarah duduk di sampingnya, dan semuanya, termasuk Si Kuncup dan Tetua, memulai sarapan yang sudah ditunda cukup lama.
Semenjak itulah, Si Kuncup dipanggil dengan nama barunya. Arunika.
*
Di lantai dua, ada lima kamar yang empat di antaranya sudah berpenghuni. Di depannya, ada ruang tamu yang cukup luas, dengan bufet besar yang sarat buku, dilengkapi sebuah televisi kecil yang layarnya sudah berkabut. Di sudut belakang, ada jendela serta jalusi yang menghadap sepetak kebun yang dipenuhi bunga alstroemeria. Hanya butuh beberapa jenak, Sarah sudah sampai di sebuah pintu, yang bersebelahan dengan dua pintu lain. Dia memutar selot, membukanya perlahan, dan mempersilakan Arunika memasukinya. Tidak lupa menyerahkan kuncinya jua.
Di dalamnya, sudah tersedia satu kasur, lengkap dengan dipan yang tidak terlalu tinggi. Cahaya matahari menyinari seprainya yang berwarna gading. Arunika langsung mendekati jendela di sisi ranjang dan melihat pemandangan di depan kaca. Di baliknya, terhampar kebun sayuran yang ditumbuhi sebatang pohon mangga. Sepertinya sebentar lagi berbuah, pikirnya, karena di ranting-rantingnya sudah terlihat putiknya.
“Dalam naungannya, Laila kerap menyampaikan dongeng-dongengnya yang indah. Kamu boleh mendengarnya jika dia kelak bercerita,” tahu-tahu Sarah sudah duduk di samping Arunika.
“Kak—Laila?”
“Dia perempuan dengan rambut sebahu yang pagi tadi duduk di sebelah kakak.”
Arunika menengadah sejenak, dan berhasil mengingatnya.
“Meski sedikit tegas, sebenarnya dia lebih nyaman saat berperan sebagai pendongeng. Minta dia menceritakan sesuatu kelak kamu bertemu dengannya lagi, dan mustahil dia menolak.”