Kesempatan Kedua

Rafael Yanuar
Chapter #6

Di Seberang Pelangi (4)

Sarah mengajak Arunika berteduh di bawah pohon kamper yang rimbunnya seolah mampu memeluk dunia. Mereka duduk di bangku bambu panjang yang permukaannya dipenuhi dedaunan kering dan jasad serangga—yang digusah terlebih dahulu. Di antara dahan-dahan yang rapat, cahaya berjatuhan meniru buliran hujan, angin berembus hingga sampai segenap sejuk. Sarah mengambil bekal makan siang di dalam tas, dan kemudian menyerahkan sebuah—kotak berisi telur dadar, bayam, dan nasi, lengkap dengan botol minumnya—kepada Arunika. Setelah sepatah terima kasih, Arunika yang sepanjang hari menahan lapar, membuka dan menyantapnya perlahan, namun juga seperti menahan. Sarah memandangnya lamat-lamat. Padahal hanya lauk bersahaja saja, tapi Arunika menikmatinya sekali. Suapan demi suapan habis dengan cepat.

"Enak?"

Arunika mengangguk dan tersenyum. "Enak, Kak!"

Seusai bersantap, Sarah menyimpan kembali kotak-kotak bekalnya di dalam tas, kemudian melanjutkan perjalanan. Perut yang terisi penuh membuatnya lembam. Namun, setelah beberapa kayuhan, dia sudah kembali terbiasa. Arunika, yang duduk di sadel belakang, menikmati pemandangan demi pemandangan yang bergulir laiknya film bercahaya sepia. Di benaknya, setiap rumah, jalan, lampu kota, dan taman, terlihat asing, tapi juga akrab — dan dipenuhi dengan kebaikan hati. Dia ingin mengabadikannya dalam kenang-kenangan indah, dan Sarah menyadarinya. Sarah melambatkan kayuhannya pada sepeda dan membiarkan Arunika menyerap pengalaman yang hendak dicerapnya. Seraya sandaran, tak henti-hentinya gadis kecil itu menyapukan pandang. Sekelompok remaja duduk di jejeran bangku pematang jalan. Ibu-ibu berdiri di depan sebuah toko, seraya mengemban bayinya dengan mesra. Di taman, anak-anak bermain adu cepat—petak lari dan kejar-kejaran—dengan rekah tawa secerah matahari. Arunika menengadah dan menemukan beberapa buah layang-layang beterbangan menghias langit. Sarah menyeberangi jembatan dan sesekali membunyikan lonceng saat bertemu malaikat yang dikenalnya.

Di perempatan, dia melihat menara jam dan terkejut mendapati jarumnya sudah hampir di angka empat. Hari cepat sekali berlalu. “Bagaimana kalau kita pulang sekarang? Beberapa Minggu lagi, ada perayaan di kota, kita bisa datang bersama yang lain.”

Arunika hanya mengangguk tanda setuju, tapi dia menyentuh lembut bahu Sarah saat menyadari sesuatu. “Perayaan?”

“Seperti pasar malam. Setiap tahun diadakan di alun-alun dekat perpustakaan; jaraknya sekitar setengah jam lagi dari sini. Kamu pernah mengunjunginya?”

Arunika menggeleng pelan. Karena belum mengetahui pesona pasar malam, dengan becak beraneka lampu, kincir ria, dan ombak banyu, serta gulali dan berbagai jajanan manis yang membuat sakit gigi, dia diam seribu bahasa dan, lagi-lagi, memandang langit dengan takjub. Sesekali, saat melihat burung-burung melintas, membelah senja dengan sayapnya yang lebar, dalam hati dia bergumam, “Apakah burung-burung itu hidup?” Dia mencoba memperhatikannya dengan saksama, tapi menyerah. Matanya tidak bisa membedakannya dengan burung yang biasa dia lihat—ataupun burung hidup yang pagi tadi dilihatnya bersama Kurir Cuaca. Mungkin hanya Kak Kurir, yang biasa berpindah-pindah dunialah, yang mampu. Bagaimanapun, dia sangat menyukai senja, apalagi ketika matahari melelehkan langit dengan pusparona—yang lumer di mana-mana bagai kembang gula.

Di surga, semakin bertumbuh usia, semakin kecil pula sayap yang kaumiliki. Lingkaran cahaya di kepalamu juga meredup, dan pupus—seolah gugur bersama helai-helai bulu terakhir. Tentu saja, Arunika, yang baru berusia lima tahun, masih memiliki sayap yang lebar dan lingkar malaikat yang berkilau cerlang, tapi Sarah yang sudah menginjak awal dua puluhan, hampir kehilangan sayapnya. Lingkaran malaikatnya juga mulai tidak stabil. Kadang pupus, kadang tegas. Memang, masih cukup sebagai penerang, tapi sudah tidak sejernih milik Arunika. Malaikat-malaikat dewasa yang terlihat di kota justru tidak lagi memiliki sayap—apalagi lingkaran cahaya. Tidak ada bedanya dengan manusia biasa.

Karena tidak dapat dipakai terbang, banyak malaikat menganggap sayapnya hiasan belaka. Tapi anak-anak menyukainya. Mereka kerap melakukan “kepak kupu-kupu”—permainan sederhana yang dapat dilakukan siapa pun. Caranya mudah. Kamu cukup memejamkan mata dan berkonsenterasi menggerakan otot sayap di punggungmu dan berusaha mengepakkannya. Lebih mudah jika kau mendorong tanganmu. Arunika bahkan dapat melakukannya kapan saja semudah menarikembuskan napas.

Saat sore mulai meremang dan bunga lembayung berguguran di angkasa, sepeda yang dikayuh Sarah sudah sampai di perbatasan. Di salah satu sudut, terlihat sebuah rumah yang tak berpagar. Di dalamnya, satu keluarga bersantai di beranda. Sang ibu tertawa mendengar suaminya berbicara, sementara dua anaknya tidak sabar menggerakkan kaki, bermain petak lari di halaman penuh bunga. Arunika langsung memalingkan wajah dan memeluk pinggang Sarah lebih erat.

“Ada apa?”

Arunika tersenyum samar, “Tidak apa.”

Setelah melewati pinggiran kota, mereka sampai di perkebunan teh.

Senja mulai temaram. Karena tak ada penerangan di sisi-sisi jalan, lingkaran malaikat menyala lebih benderang. Sarah tidak punya rabun sore, tapi beradaptasi dengan redupnya seri membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Jarak pandangnya semakin tipis, sementara jarak yang harus ditempuh masih lumayan jauh.

Ketika sampai di ladang—dengan barisan tebu yang menjulang tinggi, benak Sarah diliputi rasa gelisah. Syukurlah, dia segera merasakan sesuatu yang menenteramkan, ketika tangan mungil Arunika di pinggangnya semakin lemah, tapi tekanan pipinya pada punggungnya bertambah kuat. Dia memanggil namanya perlahan, tapi tidak ada jawaban. Dia mempercepat kayuhannya—bergegas melewati daerah suram dan memasuki lajur persawahan yang lebih terang. Arunika tertidur lelap di belakangnya. Tak ada yang perlu dicemaskan. Aku sudah mempercayakan asrama pada Laila, dan dia dapat mengandalkan Aurel dan Maheswari untuk membantunya, pikirnya. Tapi dia juga tidak menyangka, belanja di kota ternyata memakan banyak waktu. Dia menyesal karena melupakan Arunika yang, bagaimanapun, masih kecil. Dia seharusnya tidak boleh terlalu letih.

Karena udara semakin dingin, Sarah menepikan sepeda di sisi jalan. Hutan tebu sudah dilewatinya dan sekarang tibalah dia di jalur setapak yang dipenuhi rimbun pepohonan. Suasananya tidak semuram tadi, meski senja sudah hampir terbenam dan dia hanya dapat mengandalkan lingkaran malaikat sebagai penerang dan redup lampu yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Sarah mengambil jaket dan menyelimuti Arunika yang masih pulas dengan bersandar di sandaran bangku. Dia juga memakaikan penutup sayap yang ukurannya terlalu kecil, lalu menyelimutinya dengan sweater. Arunika sedikit melindur ketika hangat melingkupi tubuhnya, tapi langsung lelap sesaat kemudian.

Sarah kembali mengayuh sepedanya. Beberapa petani yang baru selesai menyiangi ladang menandai dimulainya rute persawahan. Dia membunyikan lonceng yang disambut gemerincing lonceng lain sebagai balasan.

Di antara rumah-rumah yang bertebaran di sisi-sisi jalan, aroma asap kayu bakar tercium di mana-mana.

Lalu semua suara seolah tertelan bersama redupnya senja. Ditingkahi kicau burung dan masai angin yang menyapu rimbun dedaunan—yang, entah kenapa, semakin tajam pekiknya begitu langit mengelam. Saat matahari tergelincir jatuh dan bulan berdiri kukuh di puncak bukit, yang tersisa tinggal keheningan, dengan dering tonggeret, ruakan katak, dan uhu burung hantu yang bersahutan menyambut datangnya malam. Dia memalingkan wajah dan melihat kabut tipis meruap melalui celah-celah tanah. Serangga-serangga ladang mulai mengadu sayapnya dan menciptakan melodi yang menambah remang suasana. Ketika matahari hanya menyisakan garis tipis di cakrawala, kunang-kunang bermunculan, begitu saja, bagai dilahirkan rahim rerumputan—menciptakan panorama yang menyerupai masa silam. Dilatari layar biru nan pekat, dengan lingkaran malaikat bersinar keemasan, juga rimbun kunang-kunang yang menyala kehijauan, segalanya menjelma siluet di belakang cahaya. Sarah mengayuh sepedanya semakin cepat saat Bintang Utara mulai terlihat. Di samping kotak pos, Kurir Cuaca hampir membunyikan lonceng tamu. Dia hendak berkunjung, mampir sejenak untuk makan malam sebelum menyeberangi surga dan menyambangi dunia manusia.

“Selamat malam, Kurir Cuaca,” Sarah memarkir sepedanya di halaman dan mengemban Arunika di punggungnya.

“Selamat malam.”

Laila membuka pintu sebelum Sarah mengetuknya. Wajahnya nampak khawatir sekaligus lega. Dia mengambil tas dan kain yang dilipat di keranjang dan mempersilakan Sarah—yang mengemban Arunika di punggungnya—dan Kurir Cuaca, yang akhirnya disadarinya, memasuki ruangan.

“Permisi,” kata Kurir Cuaca, seraya melepas sandal yang tidak bernoda.

Arunika terjaga, mandi-mandi sejenak, lalu duduk di sofa ruang tamu. Karena masih lelah, dia tertidur lagi dan Sarah menyelimutinya. Dia tidak tega membangunkan dan menyuruhnya beristirahat di kamarnya sendiri. Alih-alih, dia justru membelai rambut hitam Arunika yang berkilauan dan duduk di sampingnya. Tapi anak-anak lain serentak mengerubunginya dan menagih cerita. Arunika dibiarkan terlelap di sofa—tidak tertarik dengan aroma masakan di ruang makan yang menguarkan aroma gurih yang lezat.

Kurir Cuaca hanya menyesap secangkir teh yang diseduh Sarah dan menyantap sedikit lauk. Dia memang tidak butuh makan, tapi tidak menolak jua. Dan dia menyukai sajian-sajian bersahaja di Bintang Utara yang selalu lezat dan tak kunjung membosankan berapa kali pun dia menyantapnya. Dia tahu sayur mayur yang baru ditelannya, dipetik dengan tangan sendiri di kebun yang dirawat dengan sepenuh hati. Sayangnya, dia hanya mampir sejenak karena perjalanan yang harus dituntaskannya masih sangat panjang. Sebagai tanda berpisah, dia juga memberikan beberapa tetes hujan yang sudah dibekukan dalam liontin kristal. Tidak mempunyai fungsi apa pun selain hiasan.

“Dan, malam nanti, aku berencana mengirimkan hujan,” katanya.

Kurir Cuaca benar.

Arunika membuka matanya perlahan saat suara air, yang tak henti-henti mengetuk jendela, mengguggah sadarnya. Awalnya dia tak tahu sedang berada di mana. Kemarin, dia masih bermalam di hutan purba. Dia ingat, di sudut jenggala, hujan terasa dekat, seolah rintiknya mampu menembus genting kapan saja. Tapi di sini, suaranya seperti teredam, bagai berton-ton pasir jatuh di atap, dan merembes di talang. Dia bangkit dan melihat sosok perempuan duduk di dekat dapur, di tangannya ada sebuah buku. Sosok tersebut begitu larut dalam bacaannya—tanpa memperhatikan yang lain. Namun, saat menyadari ada pergerakan di ruang tamu, dia langsung berdiri dan menghampirinya. Dia melihat Arunika berjalan menuju sisi lain ruangan, hendak menaiki tangga.

“Halo, Aru,” katanya dengan nada lembut.

Lihat selengkapnya