Dengan sangat perlahan, tanpa menjatuhkan sehelai pun suara, Laila menutup kamar Arunika. Di ruang tamu, tetes air masih mendentingkan tala. Di genting dan talang berhamburan derasnya. Di antara renyai, katak-katak memadu nada—yang merdu meski tidak selalu selaras. Di jarak yang tidak terlampau jauh, angin merencanakan jumpa. Saat telinganya menangkap dering jangkrik dan cicada dalam derai yang entah kapan berakhir, Laila memikirkan nasib beberapa petak sawah yang sudah menguning, yang seharusnya siap dipanen—lantas mendesah. Bahkan di surga pun hidup tetaplah perjuangan yang tidak selalu membuahkan hasil sepadan.
Laila membiarkan tirai jendela terbuka dan menaburkan serpihan redup di ruang tamu lantai dua. Pemandangan yang terhampar di depan jendela gelap semata. Lampu jalan berkedip parau. Laila berjinjit pelan.
Saat hendak menuruni tangga dan berkeliling sebelum lelap, dia menyadari lampu di sebelah kamarnya masih menyalakan pendar pias kekuningan. Ada binar samar di lubang angin. Didorong rasa penasaran, seperti laron, ketika melihat nyala api di celupak, Laila menghampirinya. Ditangkupnya suara senandung—yang hampir tak terdengar disembunyikan deras hujan, ketika memutar kenop pintu perlahan. Sarah—empunya kamar—menoleh dengan pipi merona. Tapi, tetap saja, dipersilakan sahabatnya memasuki ruangan.
"Hai," sapanya lembut—selembut biasa.
"Hai," Laila berbisik jenaka. “Permisi.”
“Tumben sopan?” dia tertawa melihat tingkah sahabatnya. Rambut cokelatnya yang biasanya diikat, dibiarkan tergerai di belakang telinga. Dia mengenakan busana terusan yang sudah manai warnanya.
“Belum tidur? Sudah larut, lho.”
Sarah menggeleng. “Masih menenun baju—untuk Aru, tapi sebentar lagi selesai. Sudah lama tidak menjahit, rasanya jadi sedikit kaku.” Dia menaruh benang dan jarum di permukaan meja, lalu merenggangkan jari-jari tangannya. “Kamu sendiri, belum tidur?”
Laila menopang dagu dengan jarinya.
"Buatku, ini masih sore," katanya seraya mengacak-acak rambut Sarah. “Bercanda. Aku baru mengeloni Aru. Karena tidur terlalu cepat, malamnya dia terbangun. Tapi sudah lelap lagi di kamarnya,” Laila memijit lembut pundak Sarah, lalu mengetuk kepalanya pelan dengan punggung tangan. “Padahal lebih praktis beli baju jadi. Tapi kamu tidak pernah berubah. Masih memilih ‘jalan memutar’, alih-alih langsung ke tujuan. Ribet.” Dia mencium aroma wangi menghiasi rambut sahabatnya. Rasanya baru kemarin pertama kali menghidunya, tapi ternyata sudah sepuluh tahun berlalu. Aromanya ringan, seperti harum lavender yang menguar samar—tapi sebenarnya bukan. Sarah pernah mengajari cara membuatnya—dengan memalu biji alpukat yang sudah dilapisi kain, menyuling minyaknya, lalu mencampurnya dengan sedikit garam dan bunga-bunga kering.
“Terakhir, rendamlah di air panas, lalu cucilah rambutmu dengannya, hingga berkilauan.”
Sarah mengambil telapak tangan Laila di kepalanya, kemudian memindahkannya ke pipi. “Kamu sudah mengatakannya berulang kali, tapi tetap saja sakit disebut ‘ribet’,” katanya sambil pura-pura merajuk. Rekah tawa dengan suara sepelan mungkin terdengar kemudian.
“Boleh aku temani?” kata Laila. Berada di sisi Sarah membuatnya merasa nyaman.
“Tentu saja.”
Hujan di luar mulai berubah jadi gerimis—beberapa tetesannya menghias daun-daun dengan jernih embun yang manis. Berbeda dengan kamar Arunika, jendela di kamar Sarah hanya menampakkan ranting-ranting pohon. Tapi, sebagai gantinya, dia kerap menyaksikan kunang-kunang menari lembut dengan cahayanya yang teduh. Hampir sepanjang malam kilaunya berayun bagai isyarat tangan konduktor. Mungkin, jauh di lubuk malam, tak terdengar telinga siapa pun, memang ada nada-nada rahasia yang dimainkan alam—mengalun dalam senyap. Kadang, saat pagi datang, seekor kunang-kunang yang sudah hilang pendar, tergeletak begitu saja di balik bantalnya.